Dalam hal teknologi rem, dunia road bike seperti sedang berada di persimpangan jalan. Apakah sudah waktunya pindah ke disc brake, ataukah masih tetap bertahan di rim brake. Perdebatan ini sepertinya masih akan berlanjut dalam beberapa tahun ke depan. Tapi kalau ingin mengacu ke arena balap profesional kelas dunia, hingga Tour de France 2019 rim brake masih jadi raja.
Dari total 21 etape di Tour de France 2019, 20 di antaranya punya pemenang. Yang satu lagi, Etape 19, dinyatakan tanpa pemenang karena dihentikan sebelum finis. Gara-gara tanah longsor. Dari 20 etape itu, 13 masih dimenangkan oleh sepeda rim brake. Tujuh yang dimenangi oleh sepeda disc brake.
Tujuh kemenangan itu diraih oleh tiga tim. Yaitu dua tim yang disponsori Specialized, Deceuninck-QuickStep dan Bora-Hansgrohe, plus Mitchelton-Scott. Specialized, seperti produsen Amerika lain, memang paling getol memaksakan teknologi disc brake. Baik di pasaran maupun di arena balap.
Namun, tim-tim paling sukses di Tour de France 2019 masih memilih rim brake. Ambil contoh Team Ineos (dulu Team Sky), yang finis 1-2 di general classification lewat Egan Bernal dan Geraint Thomas.
Tim ini keukeuh menggunakan Pinarello Dogma F12 versi rim brake, sama sekali tidak tergoda menggunakan disc brake. Sebagai tim dengan anggaran terbesar, dan filosofi marginal gain (keunggulan sedikit-sedikit kalau dikumpulkan jadi besar), pilihan mereka memakai rim brake tidak boleh diremehkan atau ditertawakan.
Tim sukses lain, Jumbo-Visma, juga ngotot memakai rim brake. Pembalap mereka, Steven Kruijswijk, finis di urutan tiga GC. Plus, tim ini meraih beberapa kemenangan etape lain. Sama seperti Team Ineos, Jumbo-Visma menggunakan sepeda merek Italia. Yaitu Bianchi.
Dan inilah memang “perpecahan” di dunia sepeda sekarang. Produsen-produsen Amerika getol memaksakan disc brake, sementara produsen-produsen Eropa (termasuk Italia) masih tenang memasarkan versi rim brake. Kalaupun ada merek Eropa yang merilis versi disc brake, itu karena mereka juga jualan di Amerika.
Bahwa produsen Amerika memaksakan pemakaian disc brake, juga ternyata bukan berarti para pembalapnya mau menurut begitu saja. Contoh paling menarik terjadi di tim EF Education First, yang disponsori Cannondale.
Tim ini punya Cannondale SuperSix Evo terbaru (generasi ketiga), yang mengutamakan versi disc brake. Tapi, Cannondale juga memiliki SuperSix Evo versi rim brake, namun dengan bahan karbon lebih rendah. Ironisnya, andalan GC mereka, Rigoberto Uran, tetap memilih frame yang versi rim brake!
Kalau sudah begini, bagaimana dengan cyclist kebanyakan alias penghobi di jalanan? Hingga saat ini, pilihan masih ada di kantong masing-masing.
Sepeda disc brake sudah banyak beredar, dan memang menawarkan rem yang lebih kuat dan konsisten. Di sisi lain, sepeda disc brake pasti lebih berat, dan penghobi belum tentu membutuhkan disc brake kalau hanya mengendarai sepeda di jalanan datar!
Perbedaan hanya paling terasa saat turunan panjang dan curam, serta saat cuaca buruk. Nah, di negara seperti Indonesia, penghobinya banyak yang memilih naik mobil setelah sampai puncak tanjakan. Plus, ogah sepedaan ketika cuaca sedang hujan! Kalau sudah begitu, disc brake pun jadi mubazir. (azrul ananda)