Total 6.500 cyclist. Jarak 1.200 km. Total elevasi 12.000 meter. Time limit 90 jam. 13 cyclist dari Indonesia. 2 cyclist Indonesia menggunakan Brompton. Dan… mereka lulus Paris-Brest-Paris tanggal 16-19 Agustus lalu dalam waktu 82 jam 53 menit!

Beri tepuk tangan pada Hendriyanto Wijaya dan Sandi Adila! Semua ini berawal dari Asenk, sapaan akrab Sandi Adila. “Saya memang suka gowes endurance. Tapi menggunakan road bike. Nah, saya mendengar ada even gowes endurance di Paris. Ini adalah ‘naik haji’ nya pecinta gowes jarak jauh. Iseng saya ajak Hendriyanto dan dia setuju. Jadilah kita mendaftar ke even bikinan Audax Club Parisien yang diadakan tiap empat tahun sekali,” bukanya.

Menariknya, even ini tidak ada support apapun dari panitia. Jadi benar-benar mandiri. Hanya diberi penunjuk arah menuju check point. Manajemen makan, minum, istirahat, bahkan problem mekanis diserahkan pada cyclist sendiri.

Karena mereka berdua adalah anggota Brompton Monas Cyclist, timbul ide “gila”. Menaklukkan Paris-Brest-Paris (PBP) dengan Brompton! “Saya sambut positif ide Asenk itu karena posisi duduk Brompton lebih nyaman jadi endurance tidak mudah capek,” bilang Toto, sapaan akrab Hendriyanto.

Hendriyanto (kiri Brompton biru) dan Sandi Adila (kanan Brompton oranye).

Kemampuan endurance mereka tidak diragukan. Berulang kali berhasil menyelesaikan even turing Audax. Sebut saja Surabaya 300 km, Solo 400 km, dan Jogjakarta 600 km menggunakan sepeda lipat asal Inggris. “Di Solo dan Jogja, saya dan Asenk bisa finis pertama!” bangga Toto.

Tidak banyak persiapan sepeda yang mereka lakukan. Brompton S6R milik Toto pakai double chainring Shimano 105 kombinasi 52/36. Sedangkan M6R milik Asenk diganti dengan crank semerek tapi kombinasi 50/34. Selebihnya masih standar.

Justru kendala utama mereka adalah di persiapan diri. Tepat 2 bulan sebelum hari H, Asenk kecelakaan dan mengalami patah collar bone dan tulang pelvic retak. Dokter memvonisnya harus istirahat selama dua bulan dari sepeda.

“Program latihan endurance 150-200 km tiap weekend seperti Jakarta-Jogja, Jakarta-Cirebon-Jakarta yang sudah kami rencanakan berdua harus bubar. Saya harus latihan sendiri dalam kota. Tidak ada yang menemani gowes keluar kota,” bilang Toto yang mengaku mendapat support dari Brompton Inggris berupa spare part dan promosi.

Ketika waktu tersisa dua minggu, Asenk mulai intens latihan di indoor trainer. “Pagi malam saya gowes di Wahoo Kickr dengan aplikasi Zwift di rumah. Dan fokusnya hanya mengembalikan stamina endurance,” tutur Asenk.

Hari H even-pun tiba. Asenk masih belum percaya diri bisa finis. Merekapun berunding. Akhirnya sepakat mereka akan gowes sebagai tim. “Saya bilang ke Toto, kita saling support. Tapi apabila saya sudah tidak kuat, kamu tinggalkan saya dan harus finis. Salah satu dari kita pengguna Brompton Indonesia harus finis!” tekad Asenk dan disetujui Toto.

Target awal, mereka harus bisa finis di Brest dalam waktu maksimal 40 jam. “Alhamdulillah, kami bisa sampai Brest berdua dalam waktu 39 jam 45 menit. Itu sudah setengah jalan, 616 km,” tutur Toto bangga.

Manajemen waktu tidur dan gowes yang jadi kunci utama diperhatikan dengan baik. “Tidak boleh banyak tidur,” bilang Asenk. Hari pertama tidak tidur selama 30 jam. Lantas istirahat selama 5 jam. Dilanjutkan gowes lagi selama 20 jam. Dan istirahat 3 jam.

“Paling berat hari ketiga dan keempat. Kami tidak tidur hingga finis. Itu yang membuat kami berhasil mencatatkan rekor baru. Kami finis 82 jam 53 menit mengalahkan rekor yang ditorehkan Edward Jauhari, satu-satunya cyclist Indonesia yang finis PBP dalam waktu 84 jam 23 menit di tahun 2015 lalu menggunakan road bike,” bangga Asenk.

Mereka sudah mempersiapkan diri dengan matang soal apparel jadi tak gentar kala harus gowes malam hari. "Meskipun musim panas di Paris tapi cuaca bisa sangat dingin di malam hari. Kami menggunakan cycling apparel untuk winter,” tutur Toto yang juga rutin makan Strive setiap 50 km.

Sepanjang perjalanan, mereka tidak kesepian. Selain banyak peserta yang memberi support karena mereka paham bahwa gowes dengan Brompton lebih berat daripada dengan road bike.

“Brompton menggunakan ban ukuran 16 3/8 inchi jadi putarannya tidak selaju road bike atau MTB. Mereka kagum dengan kemampuan kita,” tukas Totok. Apalagi rute yang dilalui selama 1.200 km itu adalah rolling sehingga total elevasi mencapai 12.000 meter!

Masyarakat lokal juga memberi semangat di sepanjang jalan sehingga tidak bosan. Mereka sangat support dengan menyediakan makanan ringan, minuman, hingga tempat istirahat dadakan untuk semua peserta.

What next? Ternyata mereka ketagihan turing ultra endurance seperti ini. “Kami ingin ikut Audax LEL, London-Edinburg-London sejauh 1.500 km di tahun 2021!” tutup Asenk yang diangguki oleh Toto. (mainsepeda)

 

Populer

Pesona Selo “Ring of The Fire”, Sensasi Menanjak Membelah Merapi dan Merbabu
Bosan Gowes di Jalan? Ke Laut Aja…
Meriah Menanjak dengan 15 Warna Jersey
FSA dan Ritchie Sembunyikan Kabel di Semua Sepeda
De Rosa SK Pininfarina: Logo Baru, Frame Aero Baru
Sekejap Ubah Manual Shifting Jadi Elektrik
Semua Tim WorldTour Berebut Wout Van Aert
Wow, Inikah Pembalap Paling Cantik Dunia?
Hindari Takut, Bagi Tiga Segmen
Bagi Froome, Giro d’Italia adalah Latihan untuk Tour de France