Bromo KOM Challenge benar-benar event yang ditunggu-tunggu oleh penghobi sepeda. Hanya dalam 44 jam setelah registrasi dibuka, jumlah yang mendaftar sudah mencapai 1.000 lebih, berasal dari 16 negara. Wow, luar biasa!

Dari para pendaftar itu, ada yang ingin berkompetisi menurut kelompok umurnya, tapi tidak sedikit yang ingin menguji kekuatan dan ketangguhan diri sendiri agar bisa finis sebelum cut off time.

Banyak cyclist menganggap dirinya belum jadi "cyclist beneran" kalau belum bisa finis di Wonokitri, Bromo.

Baru-baru ini, tidak sengaja saya mendengar seorang cyclist yang masih pemula berujar ke temannya. "Daftar Bromo yuk," katanya. Ucapan itu membuat saya berbinar-binar. Senang mendengar orang seperti itu walau hobinya baru seumur jagung. Saking barunya, dia naik road bike masih memakai pedal biasa (belum clipless).

Setelah itu, mereka terus ngobrol. Berlanjut ke perdebatan tentang sepeda apa dan setelan apa yang "enak" untuk menanjak Bromo. Ada yang berpendapat kalau chainring depan harus compact (50-34) dan sproket sebaiknya 11-32. Bahkan ada yang berseloroh kalau sproket belakang sampai 36. Kemudian frame apa, wheelset apa, yang paling bertaring untuk menaklukkan tanjakan Bromo nan aduhai.

Saya setuju dengan ungkapan "Rumput tetangga lebih hijau daripada rumput sendiri." Ketika kita melihat orang lain menanjak Bromo dengan lincahnya, kita bisa berpikir kalau sepeda yang dia tunggangi pasti enak.

Saya ingat beberapa tahun silam, ketika kali pertama mencoba menanjak Bromo dan gagal 8 km dari finis. Ketika itu, saya berpikir andaikan saya memakai sepeda yang lebih "bagus" dan wheelset lebih ringan, saya pasti bisa finis. Saya mengkambinghitamkan sepeda, dan itu adalah hal umum terjadi untuk menutupi sebuah kegagalan.

Intinya, saya berpikir bahwa sepeda ringan di bobot tapi berat di ongkos adalah jaminan untuk bisa mudah menaklukkan Bromo.

Kemudian, dengan pinjaman sepeda "idaman," saya mencoba lagi menanjak Bromo. Berat sepeda tidak sampai 6,5 kg, dengan grupset dan komponen top of the line, dan menggunakan sproket 11-28 yang waktu itu ngehits.

Hasilnya? Benar sepeda idaman ini lebih enak untuk Bromo, beda dengan sepeda saya sebelumnmya. Paling tidak untuk 10 menit pertama menanjak. Itu yang saya rasakan. Saya pun membayangkan, bakal bisa finis ke puncak dalam waktu kurang dari dua jam.

Faktanya? Setelah lebih dari 10 menit ternyata sama saja. Walau lebih stiff, tetap saja sepeda itu harus digowes. Walau wheelset-nya ringan, tetap saja napasnya seperti ikan mas koki di luar air.

Berkali-kali saya naik Bromo, tidak pernah ada yang mudah. Apa pun sepedanya.

Intinya, sepeda terbaik beda untuk tiap individu. Sebagus apa pun sepeda itu, bila tidak pernah berlatih, hasilnya akan sama saja.

Budget dan selera masing-masing cyclist berbeda dalam menentukan sepedanya. Bahkan, mulai 2019 Bromo KOM sudah memfasilitasi pengguna sepeda lipat, termasuk Brompton, dan sepeda ber-ban kecil lainnya. Padahal, jenis-jenis sepeda itu bisa dipandang tidak ideal untuk menanjak. Dan ternyata, para penghobi sepeda jenis itu tetap antusias ikut. Karena itu yang mereka suka.

Jadi kesimpulannya: Apa pun sepedanya, berkonsentrasilah dalam persiapannya, bukan larut dalam pemilihan sepedanya. Yuk kita main sepeda ke Bromo!(johnny ray)

Populer

Brompton Explore, Senjata Baru untuk Penggemar Turing
Hiyaaaaa, Sudah Muncul Pinarello Dogma F12
Bianchi Merilis Sprint, Road Bike dengan Harga Terjangkau
Schwinn Rayakan Ultah 125 Tahun dengan Sepeda Made in USA
Tips Hadapi Problem Rutin saat Naik Brompton
Cervelo P5x Lamborghini, Hanya Ada 25 Biji
Mondraker F-Carbon RR SL Full Suspension MTB Berbobot 9 kg!
Tips Memilih Lebar Handlebar yang Ideal
BMC Timemachine Road 01: Ketika Bidon Justru Bikin Lebih Aero
Suspensi Depan Mountain Bike Yang Wow