Event menanjak paling ditunggu --sekaligus ditakuti-- di Indonesia segera diselenggarakan. Herbana Bromo KOM Challenge 2020 bakal diikuti lebih dari 1.400 peserta pada Sabtu, 14 Maret mendatang.

Saat ini, para peserta sudah menyiapkan segala senjata. Baik itu melatih fisik sendiri supaya bisa menaklukkan tanjakan Wonokitri, hingga menyetel sepeda supaya mampu mencapai finis sebelum cut off time (COT) yang ditentukan.

Berikut beberapa saran setelan untuk para peserta. Dan jangan kaget, sebenarnya banyak anggapan salah dari banyak peserta. Serta, membuang uang banyak bukanlah jaminan bakal menanjak lebih cepat. Juga, memasang sproket (cassette) raksasa juga bukan jaminan bisa finis sebelum COT!

1. FITTING SEPEDA YANG NYAMAN

Kaki yang utama, bukan sepedanya. Jadi, tidak perlu membeli sepeda paling mahal, atau paling ringan, untuk menaklukkan Bromo KOM. Semahal atau seringan apa pun sepeda, kalau Anda kurang latihan, tetap tidak akan bisa menaklukkan tanjakan menuju ketinggian 2.000 meter itu.

Sejak event ini kali pertama diselenggarakan pada 2014, telah ada beberapa percobaan "konyol" peserta. Misalnya, menggunakan sepeda time trial (TT) untuk bagian datar dari Surabaya ke Pasuruan, sebelum ganti ke sepeda ringan untuk tanjakan ke Wonokitri.

Terus terang ini perlu ditertawakan. Sepeda TT itu digunakan karena aero, membelah angin lebih cepat. Namun, posisinya tidak nyaman, memaksa badan membungkuk dan handling-nya lebih sulit. Nah, di event ini, rombongan melaju dalam peloton besar. Jadi, sepeda itu tidak perlu membelah angin, karena selalu terlindung dalam sebuah peloton. Jadi sudah aero-nya tidak berguna, posisi badan justru lebih capek!

Gunakanlah sepeda yang Anda anggap paling nyaman secara posisi. Menanjak Bromo itu seperti lari maraton, bukan kecepatannya melainkan tingkat "betah"-nya menuju puncak. Pastikan fitting yang nyaman, bukan agresif. Agak lebih tegak tidak apa-apa, daripada bungkuk tapi tidak finis!

 

2. AWAS RISIKO BAN TUBULAR

Bromo KOM adalah event mass participation, berlaku seperti event-event serupa di seluruh dunia. Setiap peserta harus bertanggung jawab atas perlengkapannya sendiri. Panitia memang menyiapkan mekanik dan parts (wheel) cadangan, tapi ingat panitia harus melayani semua peserta.

Karena itu, sebaiknya menggunakan ban yang mudah diganti. Seperti clincher. Jadi kalau ada bocor, bisa bertindak sendiri, dan dalam hitungan menit bisa kembali melaju/merambat ke finis.

Ban tubular memang nyaman, tapi tidak praktis. Saran kami, jangan gunakan opsi ini. Kecuali Anda memang cari alasan supaya tidak finis!

 

3. JANGAN NAFSU BELI CERAMIC BEARING

Hari-hari menjelang Bromo KOM, biasanya ada banyak cyclist menghamburkan uang untuk membeli komponen-komponen kecil yang supermahal. Misalnya mengganti semua bearing dengan ceramic bearing.

Memang ini tidak ada salahnya. Adalah hak semua untuk menghabiskan isi kantong/rekening bank masing-masing. Tapi, harus diingat, belum tentu komponen-komponen supermahal itu berguna saat Bromo KOM.

Biasanya, ceramic bearing terasa kalau ada banyak turunan atau rutenya rolling naik turun. Saat putaran kaki (cadence) dan putaran roda kencang. Nah, saat menuju Bromo, praktis tidak ada masa istirahat turunan. Hampir selalu menanjak dan menanjak. Apalagi 5 km sebelum finis, konstan di angka 9-11 persen tanpa henti.

Saat itu, putaran kaki biasanya hanya di kisaran 50-70 rpm. Bahkan mungkin di bawahnya. Kalau sudah begitu, wheelset yang kaku lebih berguna daripada ceramic bearing.

Jadi, sekali lagi, kaki lebih penting daripada sepedanya. Buat apa roda yang putarannya ringan kalau kaki sudah tidak mampu memutarnya! 

 

4. WHEELSET IDEAL?

Dulu, saat belum era disc brake, panitia selalu menyarankan peserta menggunakan wheelset alloy/aluminium. Apalagi kalau berniat gowes turun. Turunan curam yang begitu panjang, ditambah kemungkinan hujan, membuat turun menggunakan kombinasi rim brake dan wheelset karbon bisa membahayakan.

Sekarang, dengan semakin umumnya disc brake, risiko wheelset karbon jadi jauh berkurang. Meski demikian, tetaplah gunakan wheelset dengan profil relatif kecil. Ingat, ini event menanjak, bukan event adu aerodinamika.

 

5. JANGAN PAKAI SPROKET MEMALUKAN

Beberapa hari ini, saya sering tertawa melihat setelan-setelan sepeda yang katanya untuk dipakai di Bromo KOM. Khususnya dalam pemilihan sproket (cassette). Selama bertahun-tahun, selalu saja ada yang memaksakan diri menggunakan sproket "piring" yang besar. Walau sebenarnya tidak ideal untuk dipadukan dengan grupset road bike.

Yang normal, apa pun grupsetnya, chainset di depan yang ideal adalah kombinasi 50-34. Atau kalau SRAM AXS yang baru, mungkin 48-35 atau 46-33. Ini sudah sangat cukup, sangat ideal.

Kemudian, chainset itu dipadu dengan sproket belakang 11-28 dan 11-30. Itu sebenarnya sudah cukup. Tanjakan Bromo KOM itu panjang, bukan curam. Kemiringan maksimal memang ada 18 persenan, tapi itu hanya sedikit di ujung. Mayoritasnya di kisaran 5-10 persen.

Belakangan, sproket 11-32 semakin umum digunakan. Untuk SRAM AXS, ada 10-33. Itu sudah lebih dari cukup.

Dan kalau mau diberi lebih kelonggaran, Shimano sudah merilis sproket 11-34. Jadi, kalau depan chainring 34, belakang gir 34, itu sudah rasio 1 banding 1. Sudah sangat ringan.

Catatan khusus: Sproket 11-34 itu dirilis untuk mengakomodasi semakin populernya ajang gravel di dunia. Jadi itu sebenarnya sproket untuk semi-offroad!

Bagaimana kalau memakai sproket 11-36 atau lebih? Tolong, kalau ketemu yang seperti itu, silakan tertawakan keras-keras. Karena nantinya akan kelihatan agak konyol di tanjakan. Kakinya berputar nyaman, tapi sepedanya merambat begitu pelan.

Asal tahu saja, ada jarak 25 km dari KOM Start ke finis di Wonokitri. Sedangkan COT-nya hanya 4 jam, dengan sedikit tambahan toleransi. Itu berarti, kecepatan minimalnya harus rata-rata 7 km/jam untuk mencapai finis sebelum COT. Kalau pakai sproket 36, mungkin kecepatannya hanya 5 km/jam. Itu tidak jauh lebih cepat dari berjalan cepat menuntun sepeda!

Sekali lagi, jangan bikin malu. Jangan pakai sproket lebih besar dari chainring kecil di depan!

 

6. LAIN-LAIN

Perlengkapan penunjang ikut membantu upaya kita menaklukkan tanjakan Wonokitri, Bromo. Apalagi, ada risiko panas di perjalanan, sebelum mencapai titik KOM Start.

Idealnya, gunakan helm yang berventilasi banyak. Panas bisa memuncak di kepala, jadi sangat penting menggunakan helm yang membantu udara panas terbuang cepat. Sekali lagi, ini event menanjak, buat apa pakai helm aero?

Selain itu, jangan pakai baju berlebihan. Setiap peserta akan mendapatkan jersey premium dari SUB Jersey, dan itu bahannya sangat ideal untuk menanjak. Sangat bernapas. Jangan memakai baselayer terlalu tebal, jangan memakai arm sleeve yang tebal (apalagi arm sleeve yang sebenarnya untuk musim dingin!).

Di sisi lain, kalau bisa kantongi jaket sepeda tipis atau vest sepeda tipis. Jaga-jaga ketika cuaca berubah ekstrem, menjadi dingin, saat menuju puncak. Belum lagi kalau hujan turun. Ingat, Wonokitri ada di ketinggian sekitar 2.000 meter. Di atas sana dingin dan udaranya lebih tipis!

Semoga segala tips di atas bisa membantu. Mohon maaf kalau ada bahasanya yang mengejek. Kalaupun iya, tujuannya tetap baik kok. Supaya Anda jadi cyclist yang lebih baik. Karena dari dulu dan sampai kapan pun, tanjakan Bromo bukanlah tanjakan untuk orang yang manja! (azrul ananda)

 

Foto-Foto: Wdnsdy dan Dewo Pratomo

Populer

Pesona Selo “Ring of The Fire”, Sensasi Menanjak Membelah Merapi dan Merbabu
Bananabotcage , Bawa Pisang Semudah Bidon  
WX-R Vorteq Tokyo Edition: Pinarello Jadi Terkesan Murah
Sebentar Lagi, Era Ban Airless dan Anti Bocor?
Bosan Gowes di Jalan? Ke Laut Aja…
FSA dan Ritchie Sembunyikan Kabel di Semua Sepeda
Sentuhan Baru Cannondale di EF Education First Pro Cycling
Meriah Menanjak dengan 15 Warna Jersey
De Rosa SK Pininfarina: Logo Baru, Frame Aero Baru
BMC Rilis Sepeda Gravel URS, Andalkan Micro Travel Technology