Selamat pagi orang rumahan!
Sekarang, baik cyclist, pekerja, juragan, dan sosialita, diwajibkan jadi orang rumahan. Sudah sekitar sebulan lebih arahan itu disampaikan. Dan yang menjadi "million dollar question": Sampai kapan?
Banyak harapan dan teori yang memprediksi berapa lama hal ini akan terjadi. Tapi yang pasti, bukan 1-2 minggu ke depan. Kebanyakan sudah beradaptasi dengan kehidupan baru ini. Walau bukan hal ideal dan mudah.
Kebanyakan aktivitas manusia dalam seabad belakangan dilakukan di luar rumah. Yang biasanya dikurung adalah orang-orang yang melakukan pelanggaran atau orang sakit. Sehingga mereka dijauhkan dari sosial dan diberi ruang hidup yang sangat sempit. Contoh penjara atau rumah sakit.
Kalau Anda familiar dengan tokoh manusia kelelawar dari DC, Si Batman, maka diceritakan untuk mengisolasi musuh-musuhnya yang "gila," mereka ditawan di dalam Arkham Asylum. Yang pada awalnya didirikan oleh psikiater Kota Gotham bernama Amadeus Arkham, untuk merawat ibunya, Elizabeth Arkham.
Menghadapi era corona ini, kita semua seakan jadi tahanan rumah. Bekerja, belajar, dan beribadah dilakukan di dalam rumah. Salah satu yang menjadi kekhawatiran adalah level kewarasan kita ketika menghadapi era seperti ini. Di mana kepastian dan kejelasan tentang ending-nya masih remang-remang.
Ini semua bisa membuat kita stres. Ya, memang manusia hidup pasti berkawan dengan stres. Kalau nggak mau stres, ya jangan hidup. Tapi level stres kalau tidak terkendali bisa membuat cara orang menilai kita bergeser. Kalau keterusan, ya secara tidak sadar kita bisa jadi seperti penghuni Arkham Asylum.
Bagaimana supaya tidak stres, akan lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. Saya tidak ingin memotivasi Anda untuk jadi Batman atau Badman. Tapi paling tidak bisa terlihat dari kelakuan kita. Bila sudah sering marah atau suntuk dengan kualitas atau frekuensi lebih sering dari biasanya, maka kita harus segera mengatur level stres.
Khawatirnya, kalau level stres meningkat, level imun menurun. Padahal, imunitas adalah yang paling kita butuhkan sekarang ini.
Saya jadi ingat teman saya, seorang kapten kapal. Sebut saja dia Amdi. Si Amdi ini tinggal di tengah-tengah laut. Beberapa hari yang lalu dia mengirim pesan WA ke saya. Awalnya kami bertukar update berita. Tapi sebelum komunikasi berakhir, tiba-tiba dia bilang, "Saya nggak tau kapan bisa ketemu lagi. Jika ada salah mohon dimaafkan."
Saya sampai terhenyak. Sampai mengecek lagi nama di hape. Memastikan itu bukan salah WA atau gimana. Tapi benar itu dari Si Amdi. Bukan orang lain.
Ternyata, kesendirian dan jauh dari daratan membuat kekhawatiran begitu merasukinya. Saya bisa memahami. Kita yang masih di atas daratan saja sumpek, apalagi Si Amdi yang di tengah laut. Jauh di sekitar benua yang berbeda. Dia seharusnya sudah pulang sekarang, tapi nasibnya jadi tidak pasti karena urusan virus ini.
Bayangkan, Si Amdi lihat daratan saja tidak. Lihat keluarga tidak. Apalagi mau bersepeda seperti biasanya. Apalagi dia pernah kuat dan pernah jadi juara lomba. Pasti dia kangen sekali bersepeda (setelah bertemu keluarga tentunya).
Gara-gara Si Amdi ini, saya jadi ingin mengingatkan semua. Jagalah kesehatan pikiran kita juga. Jangan sampai WA saya minta maaf akan semua kesalahan. Karena saya juga sama-sama nggak selalu bener. Lebih baik diselesaikan di tempat makan ketika semua ini berakhir.
Tetaplah berolahraga secara mandiri. Bisa solo ride. Bisa nge-Zwift seperti teman-teman saya. Atau bisa belajar akrobat, agar kalau wabah ini selesai, bisa dipertunjukkan ke teman-teman dan keluarga! (johnny ray)