Tips Main Zwift: Serius, tapi Jangan Terlalu Serius

| Penulis : 

Dampak Covid-19 di Indonesia, khususnya di kota besar: Banyak cyclist beralih ke indoor training. Di berbagai toko sepeda, yang namanya smart trainer (atau trainer pada umumnya) jadi barang langka.

Di Strava, yang biasanya penuh postingan petualangan ke berbagai tanjakan, sekarang isinya banyak berpetualang di Zwift.

Acara-acara "Meetup" alias janjian gowes bareng makin ramai di Zwift. Awalnya sesama komunitas atau teman dekat, lama-lama ada juga yang mencari Meetup yang ada perempuan cantiknya. Padahal hanya avatar bertemu avatar!

Daftar balapan atau event virtual di Zwift diserbu. Ada yang sekadar ikut event gowes bareng, ada yang mulai berani ikutan balapan-balapan virtual di berbagai kelas dan kategori.

Apalagi sekarang ini, ada banyak event menarik. Tim-tim WorldTour, yang sekarang sedang "menganggur" karena hampir semua lomba dibatalkan, mencoba berinteraksi dengan penggemar lewat gowes bareng virtual di Zwift.

Team Ineos (dulu Team Sky), termasuk paling heboh. Ketika bikin acara gobar virtual, belasan ribu orang ikutan memenuhi jalanan di dunia Zwift. Tim-tim lain juga bisa sampai ribu, tapi kebanyakan di angka ratusan.

Dalam sehari, bisa ada beberapa acara gobar Tim WorldTour. Tim Mitchelton-Scott asal Australia, yang punya tim laki-laki maupun perempuan, sedikit kreatif. Penggemar bisa start duluan, kemudian tim perempuan baru start satu menit kemudian. Sedangkan tim laki-laki baru mengejar tiga menit kemudian. Tantangannya: Siapa bisa bertahan tidak terkejar di akhir acara 60 menit.

Tim-tim lain lebih rileks, sekadar gowes bareng dan bisa saling menyapa/chat saat gowes virtual. Seperti yang dilakukan EF Pro Cycling.

Tentu saja, setelah beberapa minggu, "atmosfer" di Zwift jadi seperti di jalanan beneran. Mereka yang memang serius jadi ikut getol mengejar PR di rute-rute yang ada. Khususnya di tanjakan.

Apalagi di tanjakan utama, Alpe du Zwift, yang merupakan replika dari Alpe d'Huez, tanjakan legendaris Tour de France. Tanjakan ini panjangnya 12,2 km, dengan kemiringan rata-rata 8 persen. Kalau di Jawa Timur, karakternya seperti tanjakan Bromo KOM Challenge, bagian Desa Puspo menuju pertigaan Tosari. Panjangnya kurang lebih sama, kemiringan rata-ratanya mirip.

Di mana ada persaingan, di situ mulai muncul rasa sebal dan curiga. Apalagi ini mirip dunia media sosial. Tidak perlu takut mengomel dan menyampaikan sumpah serapah karena memang tidak kenal dan tidak bertemu.

"Bagaimana mungkin cewek itu bisa jauh lebih cepat dari saya di Alpe du Zwift? Itu tidak mungkin! Pasti curang." Kira-kira begitu omelannya.

Dan memang, di Zwift ini ruang untuk tidak jujur tetap sangat besar. Mau lebih cepat menanjak Alpe du Zwift? Gampang. Turunkan saja berat badan atau tinggi badan yang tertulis di Zwift. Pasti jadi lebih cepat.

Atau, bikin Meetup, lalu ajak climber yang cepat. Lalu grup di Meetup itu "diikat" selalu bersama. Yang lamban bisa seolah-olah kuat, finis bersama yang cepat. Dan waktunya tertolong "ditarik" oleh yang cepat!

Voila! Yang pelan jadi lebih cepat dari yang cepat.

Dan yang namanya cyclist "eksis" ya tetap saja pengin tampil gaya. Mem-posting seolah-olah gowes berat di Zwift, padahal pakai trik. Yang pengalaman di Zwift pasti bisa melihat dan menganalisanya. Kebanyakan mungkin tidak tahu.

Sebenarnya, ada satu lagi bahan omongan ramai soal curiga-curigaan ini. Tentang pakai smart trainer/power meter, melawan yang pakai trainer klasik tanpa power meter (mengandalkan speed dan cadence sensor, yang kemudian dikonversi oleh Zwift).

Kebetulan, tidak semua trainer klasik ada opsi pilihannya di Zwift. Akibatnya, catatan power-nya jadi fantastis. Bisa lebih cepat dari pembalap kelas dunia.

Banyak orang sebal dengan ini. Sampai marah-marah di medsos, atau bahkan "nge-flag" di Strava. Tapi saya mencoba memahami. Memang, sebisa mungkin kalibrasinya benar. Kadang, itu tidak mungkin. Dan saya juga percaya bahwa olahraga sepeda ini harus terbuka untuk sebanyak mungkin orang. Bukan hanya untuk mereka yang mampu beli smart trainer/power meter saja.

Jadi, ada plus-minusnya. Dan kita seharusnya ya bersikap biasa-biasa saja. Mencoba mengingatkan apabila ada kalibrasi tidak benar, kalau tidak bisa ya tidak apa-apa. Yang penting banyak orang gowes. Terus mendukung industri sepeda supaya terus maju.


Nge-Zwift sambil nonton standup comedy

Toh, bagaimana pun, bersepeda yang paling asyik ya tetap di dunia beneran. Melewati rute-rute baru, menaklukkan rute-rute berat, sambil bersosial dengan orang beneran. Bukan sekadar avatar. Kebetulan saja situasi dunia sekarang memaksa cyclist banyak beralih ke dunia virtual.

Jadi, yang penting terus gowes. Kalau ingin jaga kondisi dan improve lewat indoor training, silakan latihan secara serius. Karena itu sarana baik untuk mengembangkan kemampuan tanpa membuang banyak waktu keluar rumah. Apalagi ada program-program khusus yang bisa digunakan. Bukan sekadar Meetup atau balapan online.

Serius. Tapi jangan terlalu serius. Lagipula, balapan dan event virtual tetap belum tentu lebih memuaskan dari balapan dan event beneran. Karena balapan dan event virtual, rata-rata hadiahnya juga virtual! (azrul ananda)

Populer

Celilo High Climber: Luar Kayu Dalam Karbon
Pompa Ban Anda sesuai Berat Badan
AG2R La Mondiale Ganti Pakai Sepeda Eddy Merckx
Adidas dan Colnago: Pernikahan Sneaker dan Cycling
Ada Campagnolo Super Record 12-Speed EPS di Tour Down Under
Wilier Zero SLR, Senjata Baru untuk Para Kambing Gunung
Primoz Roglic Dominasi Time Trial, Akhirnya Raih Red Jersey
Siap Minggat dengan Brompton Explore (Unboxing dan First Ride)
Tips Memilih Lebar Handlebar yang Ideal
Tim-Tim WorldTour Mana yang Ganti Sepeda untuk 2020?