Olahraga bulu tangkis, atau yang biasa juga disebut badminton pernah sangat booming di Indonesia pada 90-an. Terutama puncaknya pada 1992. Saat itu Indonesia bisa mengawinkan medali emas Olimpiade Barcelona dari nomor tunggal putra dan tunggal putri.
Masih lekat di ingatan kita, yang mengharumkan nama Indonesia di kanca internasional itu adalah Susi Susanti dan Alan Budi Kusuma. Pebulutangkis yang akhirnya menjadi pasangan suami istri. Capaian Susi-Alan itu termasuk salah satu yang paling tinggi pernah diraih Indonesia di cabang badminton.
Kala itu, saya masih ingat betul, banyak masyarakat memainkan badminton di gang-gang kampung atau di jalanan kosong. Belum banyak alat dan lapangan yang memadai kala itu. Baru beberapa waktu kemudian menjamurlah lapangan-lapangan bulu tangkis. Sebagian teman-teman saya pun kepincut untuk mengikuti olahraga ini. Mereka lantas bergabung dengan klub badminton.
Nah di tengah pandemi Covid-19 ini kebiasaan orang banyak berubah. Termasuk teman-teman saya tadi. Mereka coba lebih intens berolahraga. Salah satunya dengan coba ikutan tren bersepeda atau gowes.
Makin intens menekuni hobi bersepeda, makin banyak keingintahuan teman-teman saya itu. "Kenapa kok begini? Kenapa kok begitu?". Kalimat-kalimat itu kerap mereka lontarkan pada saya.
Ketika makin enjoy dengan sepeda, mereka lantas minta saya menemani gowes. Mereka mengajak saya melahap rute-rute menanjak. Saya ikuti saja mereka. Tapi di awal saya minta mereka untuk sedikit bersabar. Sebab, mereka ini berbeda dengan teman-teman yang sudah lama aktif bersepeda. Mereka ini suka menikmati pemandangan, tapi juga takut lapar.
Oh iya, sebelum cerita lebih jauh, teman-teman saya yang "selingkuh" dari badminton ke sepeda ini punya nama komunitas loh. Namanya Badminton Cycling Club alias BCC. Teman-teman saya di BCC ini belakangan paling hobi melahap rute Surabaya ke kawasan wisata Cimory di Prigen, Pasuruan.
Saya pun diminta menemani mereka menikmati rute ini. Saya sih tidak keberatan. Meskipun sehari sebelumnya saya sudah terlalu lelah bersepeda dari pagi sampai sore, melahap elevasi 1.500 meter.
Tibalah pada hari H. Begitu mengikuti teman-teman BCC gowes, saya serasa dejavu. Seperti merasakan dulu awal-awal bersepeda. Di mana speed "begitu damai". Tanpa ada desakan untuk memacu jantung ke zona tiga atau bahkan lebih. Hal yang sudah jarang sekali saya rasakan beberapa tahun ini.
Selain itu, ketika di pitsop teman-teman BCC juga jarang melihat jam. Mereka malah asyik membuka kulkas di sebuah depot atau warung. Mereka berhenti cukup lama di sana.
Seperti halnya kelompok-kelompok yang lain pun, kekuatan para anggota BCC ini sebenarnya juga beragam. Sebagian ada yang masih setengah tanjakan sudah sangat lelah. Ada yang ingin lanjut dengan maksud bisa foto di tempat wisata.
Di hari itu seperti biasanya, saya lebih cenderung menemani yang tidak naik. Sebab saya sudah capek menanjak, Saya pun ikutan berhenti di sebuah depot sambil menunggu yang lain naik.
Seperti layaknya orang yang lebih tahu medan -medan mengisi perut- saya pun punya "tugas" menyiapkan tempat makan. Anggota yang lelah bisa berhenti. Yang masih mau nanjak juga bisa lansung menikmati hidangan, ketika sampai di depot. Tentu setelah berfoto-foto dulu di tempat wisata.
Pengalaman saya, seringkali ketika sudah lelah, saya masih harus menunggu makanan keluar. Hal ini buat cyclist seperti saya tentu sangat menjengkelkan. Jadi, kalau Anda satu "spesies" seperti saya (spesies doyan makan), alangkah baiknya ada yang mempersiapkan lebih dulu makan setelah gowes.
Buat para anggota BCC, berbahagialah kalian masih ada yang mengajak mampir ke depot. Sebab hal ini sangat mewah di lingkungan anggota "Team Poso" dan "Team Cicak".
Tak terasa hari pun sudah siang. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas. Perjalanan pulang masih jauh, tapi sinar matahari tidak lagi tertutup oleh awan. Tapi tak apa, sebab saya sudah cukup makan dan minum. Saya pun berharap masih bisa gowes lagi dengan BCC, setidaknya tahun depan. (johnny ray)
Podcast Main Sepeda Bareng AZA x Johnny Ray Episode 17