Giro d'Italia mungkin tidak sekondang Tour de France, tapi lomba ini mungkin menawarkan pemandangan dan tantangan jauh lebih indah. Ada begitu banyak rute dan tanjakan historis dilewati. Salah satu yang paling kondang adalah Passo dello Stelvio, yang bahkan disebut-sebut sebagai tanjakan paling indah di dunia.

Tahun 2020 ini, Passo dello Stelvio akan kembali dilewati oleh peloton Giro d'Italia. Tepatnya pada Etape 18, yang diselenggarakan Kamis ini, 22 Oktober. Tanjakan dengan puncak di ketinggian 2.758 meter ini akan menjadi "Cima Coppi" (titik tertinggi) di Giro tahun ini. Pembalap yang melewatinya duluan akan mendapatkan penghargaan khusus.

Kali terakhir tanjakan ini dilalui Giro d'Italia adalah pada 2017. Waktu itu, Mikel Landa jadi pemenang Cima Coppi.

Nah, tahun 2017 itu juga sangat spesial buat saya pribadi. Stelvio termasuk tanjakan impian saya. Selama beberapa tahun saya sudah memimpikan merayakan hari istimewa di puncaknya. Tepatnya, hari ulang tahun saya ke-40. Sekarang, di kelompok gowes saya, memang ada tradisi merayakan ulang tahun makan-makan. Tapi makannya di puncak tanjakan.

Bulan Juli tahun 2017 itu, lebih dari 20 teman dari berbagai kota di Indonesia mau diajak sengsara, merayakan ulang tahun di puncaknya. Dua hari sebelum ultah, kami ikut dulu even Maratona Dolomiti, ajang gran fondo yang diikuti hampir 10 ribu orang dari seluruh dunia. Kemudian kami menuju Bormio, sekitar tiga jam dari Milan, untuk menyiapkan diri ke Stelvio.

Stelvio berjulukan tanjakan tiga bahasa. Secara resmi ini wilayah Italia, tapi letaknya berbatasan dengan Swiss. Jadi, bahasa paling umum di sana adalah bahasa Jerman. Makanan yang tersedia di puncaknya pun cenderung Jerman. Bahasa lain yang dipakai adalah Romansh. Menariknya, ada tiga jalan pula menuju puncaknya.

Pada Hari H, kami merencanakan rute yang epic. Kami akan melewati ketiga jalur menuju Stelvio itu. Total jaraknya "hanya" 90-an km, tapi total menanjaknya lebih dari 3.500 meter.

Dari Bormio, tempat kami menginap, jalan menuju Stelvio panjangnya sekitar 20 km dengan kemiringan rata-rata sekitar 6 persen. Kami menanjaki ini dengan masih riang gembira, dengan tidak memaksa. Masih menyimpan energi membayangkan tanjakan paling penting di akhir nanti.

Tidak jauh dari puncak, hanya sekitar 2 km, kami belok ke rute lain. Kami akan menuruni kawasan pegunungan itu via Umbrail Pass. Jalanan turun ini merupakan rute lain ke arah Stelvio, tapi kami melewatinya sebagai turunan.

Ada sebuah monumen Perang Dunia II di jalur ini, di ketinggian 2.500 meter. Secara resmi, ini merupakan perbatasan antara Italia dan Swiss. Kami semua sudah mengantongi paspor, dibungkus plastik agar tidak basah, just in case kami dihentikan di perbatasan dan ditanyai identitas diri. Kebetulan, hari itu tidak satu pun dari kami diperiksa.

Kami turun ke arah sebuah kota kecil bernama Santa Maria. Karena kawasan Stelvio ini juga tempat banyak tim balap dunia berlatih, kami bertemu rombongan asyik saat turunan itu. Rombongan tim WorldTour BMC (sekarang sudah tidak ada) menanjaki Umbrail Pass di saat kami turun.

Setelah melewati Santa Maria, kami menuju kota kecil lain/desa bernama Prato. Dari Prato lah tanjakan paling kondang Passo dello Stelvio dimulai, total sekitar 25 km dari Prato ke puncak Stelvio.

Sebelum menanjak, kami berhenti dulu untuk makan siang. Harus puas, tapi tidak boleh terlalu kenyang. Ada tanjakan panjang dengan 48 kelokan menanti. Dengan panas matahari musim panas plus oksigen tipis begitu kita mendekati puncak nanti.

Usai makan, perjalanan utama dimulai. Grup kami langsung terbagi dalam beberapa kelompok. Para guide kami juga berbagi tugas. Yang kelompok cepat dibiarkan mandiri di depan, kelompok tengah dikawal guide paling kuat, sedangkan kelompok belakang dikawal guide kedua plus mobil support.

Sebelum berangkat, kami sudah punya plan khusus di tanjakan dari Prato ini. John Boemihardjo, partner saya di Wdnsdy Bike, sudah melakukan riset dan menentukan lokasi foto paling menakjubkan. Kami memutuskan lokasi foto finalnya sehari sebelumnya, saat naik mobil melewati tanjakan ini.

Letaknya sekitar 2 km dari puncak. Kalau difoto dari atas, kelok-kelok Stelvio terlihat begitu indah. Tidak ada pohon kelihatan, karena di ketinggian itu pohon sudah tidak bisa tumbuh. Salju di sekitar juga kelihatan, padahal itu di tengah musim panas.

Setelah sampai puncak, kelompok paling depan ini turun kembali ke bawah. Mas Agus Wahyudi sebagai fotografer lalu mengambil posisi sesuai rencana. Kemudian, kelompok depan pun naik turun berkali-kali, memastikan pose terbaik dengan minim "gangguan" mobil, motor, atau lalu lintas lain.

Kami mungkin harus naik turun lima kali sebelum mendapatkan foto terbaik itu. Foto yang sekarang terpajang indah di Wdnsdy Cafe, di Surabaya Town Square. Banyak orang bertanya, itu siapa gowes di foto itu. Kami tentu dengan bangga dan penuh kenangan indah menjawab, bahwa itu kami!

Foto pose apa pun tidak akan bisa mengalahkan foto gowes beneran!

Begitu semua sampai di puncak, kami pun berfoto bersama. Teman-teman rupanya "mencuri" sebuah batu dari pegunungan itu, lalu menandatanganinya sebagai hadiah ulang tahun.

Rute yang epik, teman-teman yang sinting, foto yang indah. Tidak ada pengalaman gowes lebih tinggi lagi dari itu! (azrul ananda)

Foto-Foto: Agus Wahyudi

Populer

Bromangge Usung Misi Bangkitkan Pariwisata Palu
Grupset 13-Speed Rotor sekarang Ada untuk MTB
Membangun Endurance untuk Cyclist Perempuan
Klaim Se-Aero Kepala Gundul
Factor ONE Baru Teruskan Tren “Lebar” Aerobike
Bertabur Batu Ruby, Berbalut Tali Kulit
Keranjang Titanium Sang Juara Artisan Bike
Adik Pegoretti Terus Berkiprah Lewat DeAnima
Tandem Terbaik Dilengkapi Gerobak Barang
Poels Tercepat, Sanchez Masih Pimpin GC