Bagi banyak cyclist, baik yang baru mulai ataupun yang sudah mendalami hobi ini cukup lama, ada satu yang pasti: Olahraga bersepeda adalah olahraga endurance. Jantung dari masing-masing cyclist akan diuji secara intensitas dan durasinya. Mungkin ada yang kuat memacu jantungnya dari keadaan biasa langsung ke zona 5. Sedangkan yang belum biasa harus “mengangkat” jantungnya secara pelan-pelan agar tidak kaget.

Seperti yang kami bahas di Podcast Main Sepeda bersama dr. Dhany Prasetyanto, Sp.BTKV, FIHA yang premiere pada 9 Desember lalu, keadaan masing-masing individu tidak sama. Pada umumnya memang orang akan kuat. Tapi apa kita termasuk orang kebanyakan atau tidak, diri kita sendirilah yang harus bisa menilai keadaan fisik sendiri. 

Seorang Tejo (teman Johnny Ray) dari Jakarta berakun Instagram @dika.perkasa, mem-posting sebuah judul menarik: Lebih baik kewer ditertawakan teman daripada pulang ditangisi keluarga. 

Mungkin ini terkesan lucu dan alay. Tapi menurut saya pernyataan ini adalah esensi kejujuran akan kemampuan diri sendiri. Memang, demi harga diri seorang cyclist akan berjuang segala cara untuk bisa eksis. Khususnya eksis dalam kecepatan atau kekuatan, mampu menendang pedal dan menempatkannya di depan peloton dan kawan yang lain.

Bila ini dicapai dengan latihan yang terarah dan teratur, tentu sah-sah saja. Malah sangat disarankan dan baik menurut saya. Yang kadang membuat saya terenyuh adalah suatu keadaan di mana seorang pesepeda memaksa diri sampai melewati batas kemampuannya. Menurut saya, melewati batas kemampuan itu bukan hanya bisa berakibat terlalu capek dan berakhir penat. Keadaan yang sangat memaksakan ini bisa berujung ke maut!

Olahraga bersepeda dijalankan agar yang melakukan menjadi lebih sehat dan fit, itu saya amini. Olahraga ini juga sangat menyenangkn apabila bisa mendahului kawan yang lain, dan itu juga sangat saya amini. Tetapi kesehatan dan keselamatan diri adalah yang paling utama. Mau secepat apa pun tentu saja harus tetap sehat. Mau sekuat apa pun tetap harus dalam batas aman.

Baru saja saya menerima foto forward-an dari teman yang viral, tentang seorang pesepeda di kota besar meninggal mendadak. Mendengar kabar ini tentu saya sangat sedih walau tidak mengenal yang bersangkutan secara langsung. Saya mengerti kenapa seorang pesepeda begitu memaksa diri. Karena olahraga ini kental dengan aura memaksa dan menahan sakit. Semuanya demi mengeluarkan potensi diri secara optimal. Tetapi mengenali diri sendiri dan mengakui batasnya adalah sebuah keharusan yang tidak bisa ditawar.

Di-bully teman ketika kewer memang tidak menyenangkan. Tapi ini lebih baik daripada ditangisi oleh keluarga bukan? Anggap saja bully-an itu bagian dari hiburan. Jangan sampai terbawa mimpi, apalagi menjadi tekanan hidup. Toh dalam bersepeda kadang orang bisa menjadi paku yang dipukul dan kadang menjadi palu yang memukul.

Kalau anda sering jadi paku, ya berarti nasib Anda nggak jauh seperti nasib saya. Tapi ya saya tetap happy, karena saya intinya senang bersepeda. Kecepatan adalah bonus dari latihan saya, bisa terus bersepeda adalah anugerah buat kita semua. Kenali diri Anda dan teruslah bersepeda. Yang sehat dan aman. Sekian. (johnny ray)

Podcast Main Sepeda Bareng AZA x Johnny Ray Episode 25

Foto: Dewo Pratomo, @shotsby_jong

Populer

Pakai Skinsuit, Cara Paling Instan untuk Cepat
Tandem Terbaik Dilengkapi Gerobak Barang
Andhina – Helen Akan Hadapi Taroko Hill Climb di Taiwan
Selalu Dukung Toko Sepeda Lokal Anda!
Ini Dia Enam Kafe Sepeda Keren di Indonesia
Bianchi Merilis Sprint, Road Bike dengan Harga Terjangkau
Giro d’Italia 2020: Berawal dengan Etape Virtual di Zwift?
English 10th Anniversary Limited Edition, Hanya Ada 10 Unit di Dunia
Grupset FSA K-Force WE Raih Kemenangan Pertama di Arena Grand Tour
Brompton Monas Cyclist Taklukkan Paris-Brest-Paris 1.200 km Dalam 82 Jam