Gravel riding, lalu gravel racing, bisa dibilang merupakan aliran paling booming di dunia sepeda Amerika. Popularitasnya terus menggeser arena road riding "normal." Situasi dan kondisi yang mendorong terjadinya itu.
Dalam beberapa tahun terakhir, popularitas olahraga bersepeda terus berkembang. Seorang wakil merek besar Amerika, bekerja di bidang market research, pernah saya temani gowes di Indonesia. Dia bilang, tren sepeda terus meningkat secara global. Bisa hingga 20 persen per tahun.
Itu sebelum pandemi, yang membuat sepeda makin meroket di seluruh dunia. Di Amerika saja, demand sepeda disebut naik hingga 120 persen.
Ironisnya, ajang balap profesional di Negeri Paman Sam terus menurun. Event-event besar satu per satu bangkrut. Termasuk ajang terbesarnya, Tour of California, yang sempat mendapat status WorldTour.
Pandemi menghancurkan lagi event-event yang lebih kecil.
Ada beberapa alasan mengapa sangat sulit menyelenggarakan event-event sepeda di Amerika. Yang utama adalah biaya, khususnya terkait menutup jalan. Negeri ini sangat car-centric. Segalanya serba mobil, serba highway. Beda jauh dengan negara-negara empunya sepeda di Eropa.
Walau jalan khusus sepeda terus dikembangkan, dan akan terus didorong di era Presiden Biden, tetap suatu usaha besar untuk menutup jalan utama dan menggelar event sepeda.
Di sisi lain, Amerika punya jaringan ribuan kilometer "jalan kampung" alias country road alias jalan makadam alias jalan gravel. Menghubungkan "desa-desa" dan peternakan-peternakan dan perkebunan-perkebunan di negara daratan itu.
Buat penggemar sepeda, jauh lebih aman gowes di jalanan seperti itu. Jauh dari keramaian mobil (besar-besar). Bisa juga dianggap lebih menyenangkan karena variasi permukaan jalannya begitu banyak. Ada yang tanah padat, ada kerikil padat, ada kerikil berpasir, ada jalur tanah dan rumput, dan lain-lain.
Jalan-jalan itulah yang dikategorikan sebagai "gravel." Gowes di jalan-jalan seperti itu adalah gravel riding atau gravel biking.
Sebelum kategori khusus gravel ini booming, cyclist Amerika sudah terbiasa gowes di jalanan seperti itu menggunakan sepeda road biasa. Karena banyak jalur itu masih bisa dilewati dengan ban 25 mm atau 28 mm. Saat mampir ke Amrik dan gowes, kami sering sekali diajak teman gowes ke jalur-jalur itu. Naik road bike biasa.
Ketika sepeda gravel dikembangkan, bisa dipasangi ban hingga lebih dari 40 mm, popularitasnya semakin menggila. Orang benar-benar tidak bosan dengan satu jenis jalan. Cukup punya satu sepeda. Tinggal ganti lebar dan jenis ban, silakan hajar berbagai macam medan.
"(Gravel riding) adalah campuran antara MTB dan road, mengambil karakter khusus dari masing-masing disiplin untuk menemukan tengah-tengahnya," jelas Colin Strickland, juara Dirty Kanza 2019, yang memegang rekor tercepat di event tersebut. Dia menuntaskan rute 322 km dalam waktu hanya 9 jam dan 58 menit.
Menurut Strickland, yang dipertemukan bukan hanya karakter jalannya. Tapi juga karakter penghobinya.
"Pengendara MTB cenderung penyendiri yang suka masuk ke hutan untuk menemukan kedamaian. Sedangkan pengendara road menyukai aspek sosialnya. Gravel riding ada di tengahnya. Bisa menuju tempat-tempat yang jalan dilewati tapi tetap dalam sebuah grup. Lebih bebas dari road riding, tapi tidak semerdeka mountain biking," papar Strickland, seperti dilansir media Red Bull, yang mensponsori pembalap tersebut.
Gravel riding, tambahnya, juga mengundang minat penghobi jenis randonneur atau adventure. Yang di Indonesia mungkin kita sebut jalur "minggat."
Itu riding-nya. Racing dan event-nya ikut jadi lebih bebas dan variatif. Event-event gravel memberi peluang bagi banyak daerah untuk menyuguhkan menu-menu berbeda. Yang terbesar, Unbound Gravel (Dirty Kanza), menawarkan rute ratusan kilometer dengan mayoritas rute berkerikil tajam. Daerah lain mungkin menawarkan rute menyusuri pantai. Ada juga yang menawarkan kombinasi jalan aspal, jalan kerikil, plus jalur hutan.
Jaraknya bisa hanya 50 km, tapi bisa juga sampai ratusan km. Tidak ada aturan baku, tidak ada pengekang.
Elemen unik lain, event-event itu benar-benar mempertemukan para profesional dengan penghobi. Siapa saja, seperti apa pun skill-nya, bisa start di ajang dan rute yang sama dengan seorang bintang dunia!
Sekali lagi, kata Strickland, gravel menawarkan kebebasan bagi peserta dalam mengikuti event-event-nya. "Banyak orang ikut untuk bersenang-senang. Banyak pula yang datang untuk menantang diri sendiri. Anda bisa memilih mengukur diri melawan yang terbaik, atau sekadar menuntaskan rute," ucapnya. "Semua akan start bersama, lalu rutenya yang akan memisahkan. Anda tidak butuh orang lain untuk menilai kekuatan Anda. Rutenya-lah yang akan melakukan itu," tandasnya.
Tahun ini, di saat aturan pandemi mulai dikendurkan di Amerika, event-event sepeda mulai bermunculan lagi. Di bulan Mei (penghujung musim semi, awal musim panas), event-event itu mulai diselenggarakan. Kebanyakan, tentu saja, adalah event gravel.
Tanggal 22 Mei lalu bisa dibilang resmi sebagai hari dimulainya "musim gravel." Ada beberapa besar diselenggarakan hari Minggu itu, di berbagai wilayah. Pesertanya ratusan hingga ribuan. Banyak bintang profesional dunia ikut turun serta.
Di California ada Huffmaster Hopper. Di Texas ada Gravel Locos. Dan di Bentonville, Arkansas, ada Rule of Three. Yang terakhir itu namanya bagus, karena rutenya menawarkan tiga jenis medan secara berimbang: Aspal, kerikil, dan jalur hutan.
Semua itu juga dijadikan ajang pemanasan para profesional untuk event terbesar. Yaitu Unbound Gravel di Kansas, 5 Juni nanti. (azrul ananda/bersambung)
CATATAN TAMBAHAN: Popularitas gravel belakangan memaksa event-event terbesar dunia, seperti Giro d'Italia, untuk memasukkan unsur "gravel" dalam beberapa etapenya. Termasuk di edisi 2021 ini. Jangan kaget kalau tren seperti itu akan terus berlanjut...
Podcast Main Sepeda Bareng AZA x Johnny Ray Episode 43
Audionya bisa didengarkan di sini