Bersama dua teman, saya berkesempatan mengikuti Unbound Gravel alias Dirty Kanza, ajang gravel paling populer di Amerika, bahkan mungkin di dunia. Event itu kini sudah berlalu, dan memang sangat berkesan bagi saya. 

Om John Boemihardjo dan Azrul "Aza" Ananda memilih yang 200 mil, sedangkan saya memilih yang 100 mil. Buta akan medan membuat saya berpikir untuk memilih yang "pendek" dulu. Baru berikutnya jajal yang 200 mil. Itu pun kalau jadi ikut lagi.

Cut off time 21 jam untuk 200 mil juga menjadi salah satu sebab kenapa saya memilih yang 100 mil. Saya pikir, badan saya tidak mungkin kuat bersepeda 20 jam.

Sebenarnya, rute gravel itu bagaimana sih?

Saya baru jelas dan paham ketika sudah menyelesaikan event-nya. Memang kita bisa melihat di YouTube, dan yang membahasnya juga sudah banyak. Tapi, tetap saja panca indera kita akan lebih nyata merasakan ketika benar-benar bersepeda di medannya.

Pada kilomerter 70-an, saya mulai berpikir. Untung nggak ikut yang 200 mil. Karena 100 saja saya terancam nggak bisa finis ini. Saya terlalu meremehkan medannya.

Siksaan semakin terjadi setelah pit Stop. Untuk kelas 100 mil, hanya ada satu pit stop, di Council Grove, kilometer 90-an. Jadi, untuk mencapai finis, saya sebenarnya hanya butuh 70-an km lagi.

Setelah pit stop itu, saya pede melanjutkan perjalanan. Tas punggung saya sudah penuh air. Botol minum sudah penuh semua. Menurut saya akan cukup sampai finis.

Ternyata saya salah total. Setelah pit stop, panas matahari berada di angka maksimalnya. Data lomba bilang 32 hingga 37 derajat Celcius, dan panas kering. Angin juga terus berhembus keras. Tanjakannya tak pernah putus. Bahkan, kita bisa melihat tanjakannya seperti tangga di tengah gurun.

Hanya dalam 20 km, air minum saya sudah hampir habis. Saya harus menghemat sisanya.

Perjalanan itu tetap harus saya lewati. Naik bukit terus kilometer demi kilometer. Hingga akhirnya 10 km sebelum finis, saya sudah hampir tidak sanggup melanjutkan perjalanan. Untung ada warga yang menyediakan air minum gratis untuk peserta. Banyak yang mampir ke rumahnya untuk minta air minum kemasan yang mereka sediakan.

Saya minum dua botol di tempat, lalu membawa tiga botol.

Walau bisa melanjutkan perjalanan, kecepatan sangat pelan karena kaki sudah sakit sekali. Dalam 10 km itu saya harus berhenti setidaknya dua kali untuk istirahat dan minum. Hingga akhirnya sampai di finis, air saya habis dan badan saya sudah benar-benar habis. Untuk berdiri saja nyaris tidak bisa. Saya harus dipapah oleh John dan Chris Mohn, orang tua angkat Om Azrul waktu SMA dulu di Kansas.

Secara keseluruhan, rute gravel ini menyenangkan awalnya. Lalu melelahkan hingga akhirnya membuat trauma. Setiap kali mendengar suara ban di atas pasir atau kerikil, grosak-grosak-grosak, otomatis otot kaki saya terasa perih dan enggan meneruskan perjalanan.

Tapi yang penting event ini sudah berlalu. Ikut lagi atau tidak... Nanti saja dibahasnya. Izinkan saya ke psikiater dulu untuk menghilangkan trauma suara ban di atas kerikil itu. Sekian... (johnny ray)

Foto: Emka Satya (DBL Indonesia)

Populer

Tips Memilih Lebar Handlebar yang Ideal
Cervelo P5x Lamborghini, Hanya Ada 25 Biji
Salasa Kahiji, Balap Liar Mingguan yang Terorganisir di Bandung
Bianchi Merilis Sprint, Road Bike dengan Harga Terjangkau
Liburan ala Ernest dan Nirina: Bersepeda 12 Hari Jakarta-Bali 1.200 km
Seberapa Panjang Celana dan Tinggi Kaos Kaki?
Ulang Tahun ke-25, Focus Bikin Mares CX Berlapis Emas 24 Karat
Kemenangan Spesial Bissegger di Kandang Sendiri
Wdnsdy AJ62: Performance Nyaman untuk Cyclist Indonesia
Hanya 250 Unit, Specialized Tarmac SL6 World Champion