Alpe d’Huez. ALPE D’HUEZ. Alpe d’Huez. Nama itu begitu kondang, begitu familiar di kalangan cyclist di seluruh dunia. Tanjakan di pegunungan Alps, Prancis, itu begitu iconic. Pada Kamis, 19 Juli 2018 ini, tanjakan itu akan digunakan di Tour de France untuk kali ke-30.

Sejumlah nama-nama legendaris telah menjadi juara di tanjakan 21 tikungan tersebut. Sekarang, Alpe d’Huez telah menjadi salah satu tanjakan “wajib” bagi penghobi gowes yang beruntung, yang punya kemampuan dan kesempatan untuk menjajalnya.

Saya dan sejumlah teman-teman Indonesia pernah menjadi yang beruntung itu pada Juli 2015. Saat menyaksikan queen stage (etape penentu) Tour de France (TdF) tahun itu. Itu adalah kali terakhir tanjakan 13,8 km tersebut digunakan lomba paling bergengsi, sebelum tampil lagi di edisi 2018 pada Kamis, 19 Juli ini.

Pada 2015, Alpe d’Huez adalah etape penentu. Etape tanjakan terakhir, etape ke-20 dari total 21. Jadi, pada 2015 itu, sang juara overall ditentukan di puncaknya.

Hari itu, tepatnya Sabtu, 25 Juli 2015, pembalap tuan rumah Thibaut Pinot jadi juara etape. Di belakangnya, Christopher Froome berhasil menjaga jarak di belakang Nairo Quintana dan mengunci yellow jersey 2015. Gelar kedua (dari total empat) pembalap Team Sky itu di Tour de France!

Dan kami menyaksikan drama etape itu di tanjakan tersebut. Melihat meriahnya sambutan di garis finis. Melihat betapa sakralnya prosesi pemakaian jersey di dekat garis finis.

Bisa dimaklumi, karena kami beruntung menginap di hotel yang lokasinya di sekitar garis finis, di ketinggian 1.850 meter.

BUKAN TANJAKAN SULIT

Nama Alpe d’Huez memang begitu kondang. Setiap kali Tour de France mengunjunginya, tanjakan ini selalu dibahas habis-habisan. Penggemar berat cycling sampai hafal pernak-perniknya.

Tanjakan ini memang fotogenik, dan punya sejumlah bagian yang punya banyak cerita. Tapi setelah menanjakinya dua kali pada Jumat dan Sabtu, 24-25 Juli 2015, kami merasakan kalau Alpe d’Huez sebenarnya tidaklah terlalu menyeramkan untuk dijadikan tempat gowes.

Total ada 21 kelokan di Alpe d'Huez dan hampir semua pinggir jalan sudah dipenuhi oleh penonton sejak sehari sebelum balapan Tour de France melewati tanjakan legendaris ini.

Data statistiknya memang bisa bikin gemetaran: Sepanjang 13,8 km dengan kemiringan rata-rata 8,1 persen. Maksimalnya 11 persen. Tapi ketika dilewati, bukan bermaksud sombong, tidaklah seseram angkanya. Tidak seperti Monte Zoncolan atau pegunungan Dolomiti di Italia yang sering terasa lebih kejam dari angkanya.

Tanjakan-tanjakan di Prancis secara umum memang lebih “manusiawi.’ Saya pernah ke kawasan Pyrennes dan juga Alps, relatif tidak ada yang berkarakter “membunuh.” Mungkin Mont Ventoux yang benar-benar seram, tapi saya belum pernah ke sana.

Gradien (kemiringan) tanjakan-tanjakan di Prancis selalu konstan tidak terlalu curam (banyak di 4-7 persen), dan belokannya selalu menyenangkan. Dalam artian, kemiringan belokannya diatur bikin nyaman membelok.

Tanjakan Alpe d'Huez sepanjang 13,8 km dengan kemiringan rata-rata 8,1 persen dan maksimal 11 persen. Kemiringan di belokan diatur agar nyaman membelok.

Alpe d’Huez sama. Beratnya (yang 11 persen itu) ada di bagian awal bawah. Saat kita masih relatif segar. Setelah itu konstan menanjak. Tinggal bagaimana kita mengatur pace alias irama.

Kami kali pertama menanjak Alpe d’Huez pada Jumat 24 Juli 2015, sehari sebelum Etape 20 diselenggarakan. Sore, habis hujan, agak dingin. Dan itu tanjakan kedua kami setelah Col du Glandon (yang puncaknya lebih tinggi dari Alpe d’Huez).

Memang, curamnya di 3 km awal. Setelah itu, bagi yang biasa menanjak, bisa menikmati irama 21 kelok menuju puncak. Kelompok kami yang tergolong kuat bisa konstan melaju 8-14 km/jam. Pemandangan indah, lembah dan kota Bourg d’Oisans ada di bawah.

Pemandangan indah sepanjang perjalanan menanjak di Alpe d'Huez ada lembah dan kota Bourg d’Oisans ada di bawah.

 Waktu itu, ribuan orang sudah mengisi sepanjang jalan. Mereka sudah siap camping menunggu lewatnya peloton Tour de France keesokan harinya!

Banyak juga cyclist naik ke atas, dan para penonton itu menyoraki dan menyemangati. “Allez! Allez!” (baca: Ale! Ale) teriak mereka.

Setiap kelokan ada nomornya. Nomor 21 di bawah, ada 0 di puncak. Angka paling penting? Mungkin 7.

Kelok 7 adalah yang paling meriah sekaligus paling dikhawatirkan oleh para pembalap. Di sana ada sebuah gereja Belanda dan pemakaman kecil, makanya kelokan itu diberi nama “Dutch Corner.”

Saat kami lewat saja, ratusan orang sudah memadati sisi kelokan itu. Semua orang Belanda, memakai dan membawa berbagai atribut Belanda (khususnya warna oranye). Mereka ini yang paling fanatik di tanjakan Alpe d’Huez. Tidak jarang melempar minuman beralkohol, bahkan urine, ke pembalap!

Saat kami lewat, sempat degdegan juga. Tapi mereka menyoraki kami, menyemangati, bahkan membantu mendorong beberapa. Saya lumayan, dapat tepokan di pantat (wkwkwkw…).

Yang jelas, bau alkohol tercium keras saat melewati kelok 7 tersebut.

Ketika lomba, kelok Belanda ini biasanya sangat padat. Pembalap harus berbaris satu-satu untuk melewatinya. Membuat suasana makin mendebarkan menuju puncak Alpe d’Huez!

Seberapa cepat kami menanjak? Kelompok depan menyelesaikan 13,8 km itu dalam kisaran satu jam hingga 1 jam 25 menit. Kelompok belakang juga tetap mampu menuntaskannya dalam dua jam. Sebagai perbandingan, rekornya dipegang legenda Italia Marco Pantani, yang menuntaskan Alpe d’Huez dalam waktu 38 menit, berkecepatan rata-rata 23 km/jam!

Keesokan harinya, Sabtu, 25 Juli, sebelum Etape 20 dimulai, kami mengulangi menanjak Alpe d’Huez. Pukul 06.30 pagi kami sudah turun dari puncak, berhenti di kelok 7 untuk foto bersama (mumpung para maniak itu masih tidur!), lalu turun ke bawah untuk mencoba lagi naik ke atas.

Cyclist dari Indonesia berfoto bersama di tikungan 7 yang terkenal dengan sebutan Dutch Corner di Alpe d'Huez. 

Di kaki tanjakan itu, ada taman kecil dengan papan buletin berisikan segala informasi tentang Alpe d’Huez. Termasuk memajang gambar Lance Armstrong.

Pagi itu, kami menanjak lebih santai. Banyak berhenti-berhenti untuk foto-foto. Mumpung suasana lebih tenang dan sepi.

Pagi itu pula, banyak orang mulai menyusul naik ke atas. Entah jalan kaki atau bersepeda. Sekitar pukul 09.00 jalan sudah akan ditutup untuk persiapan menyambut kedatangan peloton Tour de France sore harinya.

Saat itu kami semua sudah kembali ke hotel, mandi dan ganti baju, lalu siap-siap jalan kaki menyusuri Alpe d’Huez jadi penonton dan turis!

Tahun ini, Kamis ini, 19 Juli 2018, Alpe d’Huez akan kembali menjadi puncak finis etape Tour de France. Memang, tahun ini tidak menjadi queen stage penentu, tapi magis tanjakan itu akan tetap menjadi perhatian.

Ribuan orang akan memadati tanjakan. Tikungan Belanda akan menjadi tempat paling dikhawatirkan. Ah, nikmatnya kenangan… (*)

Foto : Choonwei Tay, tim mainsepeda 

        

 

        

Populer

Bromangge Usung Misi Bangkitkan Pariwisata Palu
Grupset 13-Speed Rotor sekarang Ada untuk MTB
Membangun Endurance untuk Cyclist Perempuan
Klaim Se-Aero Kepala Gundul
Factor ONE Baru Teruskan Tren “Lebar” Aerobike
Bertabur Batu Ruby, Berbalut Tali Kulit
Keranjang Titanium Sang Juara Artisan Bike
Adik Pegoretti Terus Berkiprah Lewat DeAnima
Tandem Terbaik Dilengkapi Gerobak Barang
Poels Tercepat, Sanchez Masih Pimpin GC