Pada 2018 ini, Col d’Aubisque menjadi tanjakan terakhir yang bisa ikut menentukan juara Tour de France. Pada 2012, tanjakan di kawasan Pyrenees tempat yang menginspirasi saya untuk ingin bisa menanjak dengan baik. Karena itulah tanjakan hors categorie (HC, kategori terberat) pertama dalam pengalaman saya bersepeda. 

Pada 2012 itu saya memang “masih bodoh.” Saya baru saja mulai senang main road bike, berat badan masih hampir 80 kg dan ukuran jersey masih L. Tapi karena saya selalu antusias dan niat dalam hal apapun, saya mengajak sejumlah teman untuk ke Prancis, nonton langsung Tour de France sambil bersepeda.

Total, ada 14 orang berangkat waktu itu. Termasuk salah satu sahabat saya yang juga baru niat bersepeda, Prajna Murdaya. Dan waktu itu kami sama-sama niat naik sepeda Indonesia. Sama-sama bermodalkan Polygon Helios 900x, yang dicat custom. Saya hijau-biru, Prajna hijau-hitam. 

Azrul Ananda (kanan) gowes bersama Joko Ping An di pegunungan Pyrenees, Prancis.

Total kami bersepeda lima hari. Tapi para guide lokal Prancis waktu itu sadar bahwa kami tergolong “lemah.” Jadi rutenya pendek-pendek, total lima hari itu “hanya” 200 km. Walau pendek-pendek, yang diambil rata-rata adalah tanjakan-tanjakan penting Tour de France. Termasuk pula ikut pengalaman eksklusif mengelilingi Champs-Elysees di Paris, pagi hari sebelum etape penutup di jalanan legendaris itu dilewati para pembalap beneran. 

Nah, soal tanjakan, kami benar-benar tidak pintar. Kami menghabiskan kebanyakan waktu di kota Pau, di selatan Prancis. Karena di situlah tanjakan-tanjakan legendaris Pyrenees dengan mudah diakses. Tanjakan pertama yang kami lewati adalah Col de Marie-Blanque, sebuah tanjakan kategori 1 yang juga sering dilewati Tour de France. Pada dasarnya, kami menanjak pelan-pelan sesuai kekuatan masing-masing, berhenti-berhenti sesuai kemampuan masing-masing. 

Sebagai pemula, saya banyak belajar mengikuti ekor para senior. Seperti Khoiri Soetomo dari Surabaya dan Liem Tjong San dari Makassar. Kalau yang lain, seperti Sun Hin Tjendra dan Bambang “Engkong” Poerniawan, sudah terlalu kuat melejit di depan. Saat makan malam usai tanjakan itu, kami terus membahas betapa beratnya tanjakan itu. Lalu kami membaca rute buat besoknya. Menunya adalah Col d’Aubisque.

Azrul Ananda baru belajar menanjak dan memahami arti kategori tanjakan ketika di pegunungan Pyrenees, Prancis.

Kami mem-browsing data tentang tanjakan itu (belum bisa di-Google detail seperti sekarang). Lalu Prajna bilang, Aubisque itu tanjakan HC, lebih berat dari Col de Marie-Blanque. Kami pun ramai-ramai tepok jidat. Matiiii… Asli, baru hari itu kami punya pemahaman apa itu tanjakan kategori 1, dan sangat takut dengan apa itu tanjakan HC. Besoknya, hari menakutkan itu tiba. Kami menjalani Aubisque dari sisi barat, dari Laruns. Panjang yang harus kami tempuh 16,6 km, dengan kemiringan rata-rata 7,2 persen. Yang berat bagian pucuknya, 3 km terakhir rata-ratanya di atas 8 persen.

Tentu saja kami berhenti dulu di kaki tanjakan. Bersiap-siap dan berdoa maksimal. Bagian bawahnya teduh dengan pepohonan tinggi
menaungi. Setelah itu, pelan-pelan tapi pasti terus ke atas, sesuai kemampuan masing-masing. Berhenti di mana saja kalau merasa tidak kuat. Beberapa dari kami dikejar lebah. Kata guide kami (sambil bercanda), kalau tidak ingin disengat lebah, ya harus bersepeda lebih cepat. 

Ada di antara kami pula yang sadar seberapa pelan kami harus mengayuh sebelum Garmin mati dan kami bisa jatuh: 3,2 km/jam. Jadi sebisa mungkin di atas itu terus… Saya beberapa kali harus jalan menuntun sepeda. Ketika bertemu teman lain yang juga berhenti, kami lantas berjalan menuntun bersama. Pokoknya harus sampai puncak, bagaimana pun caranya.

Katanya, pemandangan di Col d’Aubisque itu yang paling bagus di Pyrenees, karena bisa melihat sekeliling kawasan dengan view paling lengkap. Terus terang saya tidak ingat. Yang saya ingat hanya terus melihat aspal, tidak berani melihat ke atas. Plus, rajin melihat penanda di pinggir jalan. Enaknya di Pyrenees, di setiap km ada penanda jalan. Selain menandai kilometernya, juga menunjukkan rata-rata kemiringan jalan 1 km di depan. Misalnya: “6 km, 7%.” Jadi kami bisa mengira-ngira seberapa mati kami dalam satu kilometer ke depan. 

Kurang dari 2 km sebelum finis, ada sebuah restoran di kiri jalan. Beberapa teman berhenti di situ. Saya dan beberapa lain terus naik ke atas, menuntun sepeda. Suasana sudah begitu terbuka, tidak ada lagi pohon tumbuh. Rumput hijau di mana-mana, hiasan sepeda-sepeda raksasa membuat suasana jadi sepeda banget. Banyak orang juga sudah camping, menunggu peloton Tour de France yang baru akan lewat keesokan harinya! Orang-orang ini begitu menyemangati dan menolong. Tonny Budianto, rekan asal Madura, minta air minum kepada mereka ketika bidonnya kosong. 

Bambang "Engkong" Poerniawan memanjat salah satu hiasan sepeda raksasa di kawasan Pyrenees, Prancis.

Sampai di puncak, kami tidak lagi lihat apa-apa. Pokoknya lega, pokoknya sampai. Prajna dan saya berfoto bersama di penanda puncak tanjakan. Ini foto bersejarah, karena inilah tanda menuntaskan tanjakan HC pertama… Prajna waktu itu bilang, kalau kita selamat sampai akhir tur ini, ayo mengenangnya dengan beli sepeda kembaran… 

Prajna Murdaya (kiri) dan Azrul Ananda berfoto bersama di penanda puncak Col d'Aubisque setelah berhasil menaklukkan tanjakan kategori HC pertama kali.

Hari itu, kami seharusnya turun naik sepeda. Para guide melihat kami sudah mampus, dan memutuskan kami semua turun naik mobil demi keselamatan bersama. Sampai balik di hotel di Pau, para guide meminta kami untuk banyak jalan kaki. Supaya tidak kaku dan kram. Saran yang sampai hari ini sering saya lakukan… 

Keesokan harinya, di rute lain yang lebih santai, kami menonton Etape 16 Tour de France 2012 via layar kaca. Kami melihat peloton dengan cepat melewati Col d’Aubisque. Waktu itu, pembalap top Prancis, Thomas Voeckler, menjadi yang pertama melewati puncaknya. Dia kemudian mengamankan jersey polkadot sebagai jawara mountains classification. Kami hanya bisa melihat mereka sambil geleng-geleng kepala. “Mereka itu sepuluh kali lebih kuat dari kita,” kata seorang rekan. 

Sejak melewati Col d’Aubisque itu, ada semangat baru dalam hati saya. Bahwa saya harus bisa menanjak. Tidak harus jago menanjak, tapi harus bisa menanjak. Waktu itu saya menantang Engkong, yang jauh lebih kuat dari saya walau usianya menuju 60 tahun. “Engkong, pokoknya dalam enam bulan saya harus mengalahkan Engkong,” tantang saya. 

He he he… Ternyata saya butuh lebih dari setahun… 

Pelajaran untuk teman-teman sesama cyclist: Jangan takut menanjak. Kita semua pernah merasakan “bodohnya” jadi pemula. Jangan malu menuntun, jangan mudah tergoda loading naik mobil atau duduk di belakang pickup. Yang penting mau tekun berlatih. 

Kembali ke Col d’Aubisque, tahun ini tanjakan itu akan kembali dilewati Tour de France, dan bisa menjadi penentu juara. Terus terang, saya kurang ingat seperti apa tanjakannya. Entah karena ingin melupakan rasa sakit dan malunya, atau karena terlalu banyak melihat aspal dan menuntun.

Tapi kenangan dari Aubisque tak akan pernah saya – dan teman-teman – lupakan. Foto di puncak selalu saya simpan. Prajna dan saya juga sampai hari ini masih menyimpan Trek Madone 7 edisi Tim RadioShack-Nissan-Trek sebagai kenang-kenangan. Tidak akan pernah saya jual… *

 

Populer

Wilier Zero SLR, Senjata Baru untuk Para Kambing Gunung
Cavendish Belum Habis, Mantap Tatap Tour de France
Lebih Ringan, Mulus, dan Universal
reTyre, Semenit Ganti Tapak Ban Sepeda
Main MTB di Bogor, ke Mana Aja?
Ted King dan Keough Juara Dirty Kanza, Acker dan Rusch Menang Edisi 563 Km
Canyon Siapkan Penerus MTB Lux CF?
Charity Ride Jadi Roh FratzCC
Adu Koleksi Khusus Sagan, Bardet, dan Cavendish
Carla, Sepeda Berbahan Olahan Batu