Ada garis tipis antara crazy dan stupid. Teman-teman sepeda di Surabaya memilih berjalan di atas garis tipis tersebut di awal 2018 ini. Terbagi dalam dua kelompok, kami bersepeda tanpa support mobil atau motor ke Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur.
Kelompok Surabaya pertama, yang terus terang lebih pelan (dan kemungkinan lebih banyak makan), berangkat duluan pada Sabtu, 27 Januari lalu. Mereka ini jalur sendiri. Per hari-nya lebih pendek, dan memilih menginap dengan tenda di sembarang tempat. Sampainya entah kapan. Jumlahnya empat orang.
Kelompok kedua, yang dengan sombong kami rasa lebih cepat, berangkat Selasa, 30 Januari. Dengan jadwal yang lebih pasti. Berniat finis di Sape, ujung Timur Sumbawa, pada 4 Februari. Walau itu berarti per hari nya bersepeda hampir 200 km.
Kiri ke kanan: Saya, Francesco Bruno, John Boemihardjo, Tonny Budianto Tanadi, Go Suhartono.
Anggotanya lima orang. Saya (penulis), John Boemihardjo, bule asal Italia Francesco Bruno, dan dua senior ajaib Tonny Budianto Tanadi, 58 tahun, dan Go Suhartono alias Ko Hay, 68 tahun.
Karena ini pure touring, kami naik sepeda touring. Besi berat dengan tas-tas berisikan makanan ringan, baju-baju (plus kalau saya laptop dll). Lumayan, kalau biasanya melaju naik sepeda balap berat 6-8 kilogram, sekarang naik sepeda yang total beratnya kira-kira 25-30 kilogram.
Beruntung hari pertama adalah hari “pemanasan”. Jarak dari Surabaya ke Situbondo kota memang 192 km, tapi tergolong datar. Hanya sedikit naik-turun di kawasan pembangkit listrik Paiton, setelah Probolinggo (km 135).
Isitrahat dulu di Pasir Putih, Probolinggo.
Kami berhenti brunch (makan pagi telat) pukul 09.15 di Probolinggo. Maunya makan Rawon Nguling yang legendaris tapi tutup jadi ya ke Resto Bromo Asri tidak jauh kemudian.
Sebelumnya di Pasuruan (km 55) dan sesudahnya di Besuki (km 145) kami berhenti di toko mini market untuk isi minum dan nyemil.
Sekitar 15 km sebelum finis kami berhenti makan dulu ikan bakar. He he he… Kebetulan sudah lapar walau jamnya nanggung pukul 15.00.
Total, kalau dihitung dari start bersama hingga penginapan, kilometernya 192. Kami sempat bercanda, bagaimana kalau digenapkan ke 200 km sebelum berhenti. Untung akal sehat mengambil alih, dan celetukan itu tidak terwujud jadi kenyataan.
Kami bersyukur, relatif tidak ada masalah sampai Situbondo. Walau Cecco (panggilan Francesco) ternyata mengalami masalah roda belakang, salah satu spoke/ruji ternyata putus. Hebatnya dia sangat prepare dan bawa ruji cadangan…
Kesiapan memang penting untuk acara seperti ini. Ko Hay pun sigap mengecek sepeda setelah finis. Dia melihat ada tanda-tanda kurang enak pada ban depan, dan langsung menggantinya.
Pak Tonny pun langsung sigap mengencangkan baut shifter pada handlebar. Maklum, jalanan di Jawa Timur sekarang sedang mengasyikkan (dalam artian banyak lubang dan bergelombang). Sehingga baut-baut dan ruji dan lain-lain bisa bermasalah.
Hari pertama ini, pemanasan kami sukses. Cuaca agak panas, tapi mungkin lebih baik daripada kehujanan. Kecepatan rata-rata kami lumayan, hampir 25 km/jam. Total bersepedanya 7 jam dan 59 menit.
Andai pakai road bike biasa pasti bisa jauh lebih cepat. Tapi tujuan sekarang kan bukan cepat-cepatan walau jangan terlalu lambat.
Dan harapan kami, touring crazy/stupid ini bisa bermanfaat untuk performa kami bersepeda di kelanjutan 2018. Karena ini merupakan base training (membangun fondasi) yang solid, karena riding time nya tinggi dengan intensitas rendah. Tinggal bagaimana nanti fokus ke performance (high intensity) setelah kembali ke Surabaya…
Finis hari pertama. Pemanasan kami sukses.
Oh ya, besok (hari kedua), dari Situbondo kami ke Ketapang (Banyuwangi), menyeberang ke Gilimanuk, lalu lanjut hingga Singaraja. Semoga lancar lagi… (bersambung)
Foto-foto: Azrul Ananda School of Suffering (follow IG @aasos_indonesia)