Seluruh dunia cycling benar-benar terkejut, sekaligus kagum, pada Tadej Pogacar. Di usia 21 tahun, di kesempatan pertamanya turun di balapan paling bergengsi di dunia, dia langsung meraih tiga kemenangan etape dan tiga jersey sangat bergengsi.
Pogacar bukan hanya menjadi juara overall dan meraih yellow jersey di Tour de France (TdF) 2020. Dia juga juga meraih white jersey sebagai pembalap muda terbaik sekaligus polkadot sebagai juara mountain classification.
Gelar pembalap muda mungkin tidak sulit dia dapat. Tidak banyak pembalap usia 25 yang dahsyat. Pesaing utamanya mungkin "hanya" Egan Bernal dari Ineos Grenadiers (dulu Team Sky).
Tapi, meraih yellow dan polkadot benar-benar mengejutkan. Juga mengagumkan. Pogacar menjadi orang pertama sejak "The Cannibal," Eddy Merckx, pada 1969 yang meraih tiga jersey sekaligus di TdF. Waktu itu yellow, green (sprint), dan polkadot.
Pogacar sendiri termasuk terkejut. Walau punya bakat dahsyat, dan dua tahun terakhir sudah merebut banyak gelar bergengsi (Tour of California misalnya), Pogacar tak menyangka bisa sesukses ini di debutnya di Prancis. "Impian saya hanyalah tampil di Tour de France," ucapnya usai memenangi etape time trial, Sabtu lalu (19 September).
Berikut ini perjalanan Pogacar di TdF 2020 dalam merebut ketiga jersey idaman pembalap di seluruh dunia itu.
WHITE JERSEY: MUDAH SETELAH BERNAL OUT
Dari tiga jersey yang didapat Pogacar, white jersey mungkin yang paling "mudah" dia dapat. Walau saat memasuki lomba ini, Pogacar mungkin tidak menargetnya secara khusus. Maklum, masih ada Egan Bernal (Ineos Grenadiers), yang masih berusia 22 tahun dan berstatus juara bertahan. Gelar baju putih itu dihadiahkan kepada pembalap berusia di bawah 25 tahun, yang memiliki posisi terbaik di general classification (GC).
Meski Bernal lebih diunggulkan, Pogacar ternyata mampu merebutnya duluan pada etape ketiga. Lalu terus mengenakannya hingga etape ketujuh. Saat itu, seolah bencana besar menimpa. Etape "datar" itu "diramaikan" oleh angin kencang. Peloton terpecah belah dan Pogacar termasuk yang tercecer di kelompok kedua. Kehilangan waktu lebih dari satu menit dari pimpinan GC.
Setelah itu, Pogacar hanya bisa fokus mengejar waktu sedikit demi sedikit, mencoba mencuri kemenangan-kemenangan etape. Pogacar baru mengenakan lagi jersey putih itu pada etape 13, ketika Bernal mulai melorot di tanjakan. Ketika Bernal out dari lomba, pada dasarnya jersey putih ini sudah jaminan milik Pogacar. Dia hanya perlu menuntaskan TdF 2020.
JERSEY POLKADOT: GELAR "BONUS KEBETULAN"
Bagi pembalap yang fokus di klasemen GC, gelar jersey polkadot alias mountain classification bukanlah fokus utama. Yang penting waktu di finis, bukan berapa poin yang diraih di ujung tanjakan-tanjakan lomba. Biasanya, gelar ini diburu oleh mereka yang tak punya kans di klasemen GC. Kemudian terus ikut breakaway dan memburu hadiah bonus ini.
Pogacar memang meraih banyak poin dengan memenangi dua etape gunung (Etape 9 dan 15). Tapi, dia baru punya peluang merebut jersey unik ini pada Etape 20, di etape time trial Sabtu itu. Saat itu, dia hanya ketinggalan dua poin dari Richard Carapaz (Ineos Grenadiers). Lalu ada 10 poin maksimal tersedia di ujung etape, yang memang berakhir di tanjakan.
Meski ada peluang, Pogacar tidak boleh fokus ke polkadot di Etape 20. Dia harus fokus ke klasemen GC, mengejar ketinggalan 57 detik dari Primoz Roglic.
Pogacar harus fokus dari awal sampai akhir di etape melawan stopwatch sejauh 36 km itu. Sementara poin polkadot diberikan kepada pembalap yang tercepat di tanjakannya saja. Yaitu dari waktu yang dihitung dari start tanjakan sampai finis, total 6 km.
Sekali lagi, Pogacar harus fokus dari awal sampai akhir, sejauh 36 km. Sedangkan Carapaz sebenarnya bisa "santai" pada 30 km pertama, baru tancap gas di tanjakan akhir untuk meraih poin sebanyak mungkin.
Kenyataaanya? Pogacar tetap tercepat secara keseluruhan. Tercepat dan memenangi etape, sekaligus yang tercepat di tanjakan. Carapaz dan Ineos harus gigit jari, jersey polkadot lepas ke badan Pogacar. Bisa dibilang, Pogacar memang "tidak sengaja" merebut jersey polkadot ini.
YELLOW JERSEY: BERKAT KONSISTEN STRONG SAMPAI AKHIR
Sekali lagi, tidak ada yang menjagokan Pogacar jadi juara TdF 2020. Unggulannya adalah Primoz Roglic, lalu Egan Bernal. Ya, Pogacar tampil hebat sejak 2019. Pada grand tour perdananya, Vuelta a Espana 2019, Pogacar mampu memenangi tiga etape dan finis di urutan tiga overall. Juaranya waktu itu, Primoz Roglic!
Di TdF 2020 ini, Pogacar juga tidak punya tim yang sekuat Jumbo-Visma atau Ineos Grenadiers. Pasukan UAE Team Emirates lebih dirancang untuk mencuri kemenangan-kemenangan etape. Hanya ada tiga climber. Pogacar hanya dibantu oleh Fabio Aru dan Davide Formolo. Lalu tim ini juga mengejar etape sprint lewat Alexander Kristoff. Harus diakui, strategi ini sudah berhasil sejak awal, karena Kristoff merebut etape pertama!
Pada dua pekan terakhir lomba, Pogacar praktis juga berjuang sendirian. Aru harus keluar dari lomba. Begitu pula dengan Formolo. Jadi, Pogacar hanya punya satu opsi: Menempel sebisa mungkin "kereta" Jumbo-Visma. Lalu berharap masih punya tenaga untuk ikut bertarung di akhir etape-etape tanjakan.
Strategi ini berhasil. Dengan menempel seperti perangko pada kereta kuning Jumbo-Visma, Pogacar mampu bertahan di barisan teratas GC sementara banyak unggulan lain berguguran. Dengan masih punya tenaga dan agresif di akhir-akhir etape, Pogacar juga mampu mencuri dua etape tanjakan, sekaligus terus memperkecil ketinggalan di klasemen GC.
Menjelang etape TT Sabtu lalu, dia hanya tertinggal 57 detik di belakang Roglic. Dia punya peluang, tapi tidak ada yang berani menjagokan.
Asal tahu saja, Pogacar adalah juara nasional TT Slovenia. Dalam kejuaraan nasional beberapa pekan lalu, dia menang 9 detik atas Roglic. Tapi rutenya lebih pendek, jadi tidak ada yang yakin Pogacar bisa menang jauh atas Roglic di TT TdF 2020.
Alangkah terkejutnya dunia. Pogacar mampu tancap gas secara konsisten sejak awal etape sampai akhir. Timnya ternyata telah melakukan persiapan khusus menjelang tanjakan, berlatih khusus bagaimana mengganti sepeda (dari sepeda TT ke sepeda climber) semulus mungkin. Dengan tempat yang sudah ditentukan.
Jadi, walau ganti sepeda, "irama" Pogacar tak pernah terganggu. Dengan konstan dia terus tancap gas menuju finis. Dan meraih waktu hampir dua menit lebih baik dari Roglic. Di akhir etape itu, dia membalik ketinggalan 57 detik menjadi keunggulan 59 detik!
Sebaliknya, Roglic tampak "anjlok" di etape TT tersebut. Kecepatannya tak pernah mantap sejak awal. Pergantian sepedanya kurang rapi, setelah itu putaran kakinya tidak konstan di tanjakan. Berkali-kali dia terlihat mengubah posisi duduk untuk mencoba lebih nyaman. Helmnya juga seperti tidak nyaman, dia terus mendorongnya ke atas seolah ingin melepasnya.
Bisa dibayangkan, alangkah menyakitkannya hasil ini untuk Roglic. Gelar juara sudah di ambang mata, lepas dengan begitu kejam.
Tapi, bagi yang mengikuti balap sepeda, ini sudah ada presedennya. Di Giro d'Italia 2019 lalu, Roglic juga dominan di awal lomba. Namun, pada weekend penutup, Roglic juga kendur. Melorot dari urutan pertama ke juara ketiga.
Mungkin, Roglic "panas" terlalu cepat. Ingat, dia sudah hebat sejak sebulan sebelum TdF. Memenangi lomba-lomba sebelum TdF. "Panas" terlalu cepat sering terjadi di sebuah grand tour, di mana pembalap harus bisa tampil konsisten selama tiga pekan.
Nah Pogacar, di usia 21 tahun, sudah mampu melakukan itu! Ngeri membayangkan seperti apa masa depan pembalap dengan julukan "Pogi" itu.
Sekarang, tinggal bagaimana UAE Team Emirates membangun tim yang lebih kuat tahun depan. Membangun tim yang dirancang untuk melindungi Pogacar lebih baik di tanjakan.
Ngeri membayangkan masa depan Pogi! (azrul ananda)
Podcast Main Sepeda Bareng AZA x Johnny Ray Episode 14
Audionya bisa didengarkan di sini
Foto: ASO, Getty Images