Di Bandung ada dua hari yang sakral untuk para cyclist. Hari Jumat yang biasa disebut Vintage Friday. Hari dimana seluruh sepeda-sepeda retro dan vintage muncul dan mejeng gowes keliling Bandung dan finis di Lembang.
Lalu ada hari Selasa, hari spesial untuk kebut-kebutan (balap liar) dengan rute dari Bandung ke Lembang. Jaraknya hanya 13,5 km. Waktu gowesnya 30an menit saja. Dengan elevasi gain 450 meter. Berangkat dari Bandung yang berada di ketinggian 600 meter dan finis di Lembang di ketinggian 1.200 meter. Tanpa pengawalan. Tanpa jalanan yang clear.
Salasa Kahiji, begitu cyclist Bandung menyebutnya. Salasa artinya hari Selasa. Kahiji dalam bahasa Sunda artinya kesatu. Jadi Salasa Kahiji artinya Selasa Kesatu. Setiap pembalap yang ikut Salasa Kahiji ini ingin menjadi nomor satu.
Bermula dari tahun 2005, saat itu, lima cyclist senior yaitu Freddy Kartawijaya, Sin Kwang Kuo, Yanto Guci, Weweh Guci, dan Andi Duren yang ingin membuat catatan waktu terbaik gowes dari Bandung ke Lembang.
Sebenarnya tidak untuk umum, tetapi hanya “persaingan” antar cyclist di internal klub Guci, klub yang menaungi mereka. Setiap Selasa mereka mengadakan even dadakan ini.
Gowes Salasa Kahiji ini merupakan kategori sprint uphill. Selepas start dari Taman Nyland Cipaganti, para cyclist langsung tancap gas menembus lalu lintas dan jalan menanjak dengan gradien rata-rata 6-8 persen sejauh 1,5 km. Memasuki tanjakan pertama di Setiabudi biasanya rombongan terbagi menjadi tiga grup besar. Pembalap dengan power rata-rata 350-400 watt akan aman di grup depan. Silakan tancap gas terus hingga finis di Grand Hotel Lembang.
Durasi rata-rata per kategori adalah 27 menit (atlet), 28 menit (men open), 29 menit (Master A), 30 menit (Master B), 31 menit (Master C), 32 menit (Master D), dan 35 menit keatas untuk penghobi dan new comer.
Setelah konsisten selama dua tahun, banyak komunitas lain yang melirik dan mengikutinya. Sebut aja klub Total dan klub tertua di Bandung, BHHH2 mulai mengirimkan anggotanya untuk bertarung di Salasa Kahiji.
Minggu demi minggu, peserta Salasa Kahiji semakin banyak. Dari klub penghobi non atlet hingga atlet sepeda di Bandungpun mengikutinya. Jenis sepeda yang mengikutinya pun kian beragam. 70 persen roadbike, 20 persen MTB, dan sisanya menggunakan sepeda lipat atau BMX.
Puncaknya adalah di tahun 2011. Waktu itu ada Sea Games di Indonesia. Dan kota Bandung menjadi base camp untuk tiga cabang olahraga sepeda. Pelatnas MTB, pelatnas Road Bike, dan pelatnas Sepatu Roda.
“Otomatis, para pelatihnya mengharuskan para atlet untuk latihan gowes di Salasa Kahiji. Membuat semangat teman-teman non atlet untuk berlatih. Dan Memberi kesempatan untuk naik kelas karena cyclist penghobi ini bisa belajar banyak dari atlet sepeda kelas nasional,” tutur Fitra Tara Mizar, salah satu kordinator Salasa Kahiji.
Selain itu, ada juga klub klasik yang membina pembalap muda seperti Sangkuriang yang tak pernah absen mengikut sertakan pembalapnya di even ini.
Sejak itu, Salasa Kahiji ini menjadi ajang pertemuan penghobi sepeda dengan atlet untuk saling berbagi ilmu dan bertarung sengit secara sehat. “Terbaru adalah hadirnya pelatnas triathlon di kota Bandung. Dan merekapun ikut latihan bersama kami,” bangga Tara yang juga salah satu pengurus ISSI Jabar.
Salasa Kahiji ini sudah menjadi salah satu ikon kota Bandung terutama di kalangan cyclist. Tak heran, kalangan industri mulai melirik balap liar yang terorganisir setiap Selasa pagi ini.
Banyak toko sepeda yang memberikan hadiah dalam bentuk barang-barang sepeda. Hadiah ini diberikan setiap bulan berdasarkan peringkat yang didapat oleh pesertanya.
“Saya bersama Freddy dan Oki Raspati mulai mengorganisir pemeringkatan dengan sistem point kelompok umur berdasarkan UCI,” bilang Tara.
Kelompok umur tertua adalah Master D+ yang dihuni oleh Imawan Saputra berusia (66), Uwa Wawan (67), Papih BU (68), Ridwan (65), dan Munari (66).
Acara yang rutin diikuti 60-70an cyclist tiap minggu ini sudah menjadi indikator sederhana dalam memutuskan pembalap muda atau master yang akan mengikuti even di luar Bandung. Juga merupakan sebuah festival dan reunian antar mantan pembalap nasional.
Paling ramai adalah Salasa Kahiji minggu keempat akhir bulan. Karena para pembalap ini mengejar double point. Finisnya tidak di Lembang tetapi di Cikole, Tangkuban Perahu. “Total menanjak 25 km dari kota Bandung dan finis di ketinggian 1.800 meter,” bilang Tara.
Untuk mendapatkan juara, Tara dan teman-teman menggunakan dua sistem point. Kelas Utama menghitung point berdasarkan urutan kedatangan. Jika total perserta pada hari itu 65 orang maka cyclist yang finis pertama mendapatkan point 65 dan seterusnya hingga point terkecil, 1. Point utama ini dijumlah setiap minggu dalam setahun.
Sistem kedua adalah untuk pembinaan dan general classification winner di akhir bulan. Untuk ini dibagi per kategori usia berdasarkan UCI dari Men Elite, master A, B, C, D, E, Women open dan Junior.
“Hadiah bulanan untuk per kategori kelompok umur dibagikan hari Selasa akhir bulan saat finis di Cikole Tangkuban Perahu,” ujar Freddy. Semboyan dari cyclist Bandung adalah kalah dengan yang dari luar Bandung itu tidak masalah, yang jadi masalah kalau kalah dengan tetangga sebelah rumah.
“Artinya jika kita dikalahkan teman sesama Bandung maka gaungnya tidak mudah hilang hingga bertahun-tahun,” tutup Tara lantas tertawa. (mainsepeda)