Saya suka makan. Kegemaran ini mewakili banyak orang zaman sekarang. Menurut riset, satu dari empat orang dewasa di Indonesia menderita obesitas. Di Amerika lebih parah lagi, mencapai 40 persen.
Banyak orang juga bersikukuh dengan hobi makan ini. Walau membuat bentuk tubuh menjadi lebih “sehat.” Apalagi hobi kuliner sedang nge-hits. Blogger-blogger makanan bermunculan, jasa ojek online semakin membantu hasrat untuk makan enak di mana pun dan kapan pun.
Sekarang, tidak ada alasan bagi perut untuk menjerit. Kita selalu bisa “meminyaki”-nya dengan makanan kapan saja. Pagi, siang, maupun tengah malam.
Tentu saja, lifestyle “hidup untuk makan” ini ada tantangannya. Tibalah masa di mana hasil dari tumpukan “gizi” berlebihan ini keluar lewat hasil rekam medis. Hasil makan belinjo jadi asam urat. Soto komplet plus otak dobel menjadi kolesterol. Nasi punel jadi tumpukan gula dan seterusnya. Kalau diteruskan, bisa berakibat fatal.
Dokter pun menasihati agar mengurangi kerakusan. Khususnya jeroan dan yang berminyak.
Ketika menuruti nasihat itu, rasanya aduh. Ketika yang enak dilarang, makan jadi hambar. Ketika makan makin sedikit, badan terasa lemah.
Saat ini terjadi, harus ada sikap kuat. Untuk urusan makan, saya merasa ngeyel is the best. Kita harus selalu mendukung UKM. Dalam hal ini selalu menghidupi depot dan warung makan di sekitar kita.
Di sisi lain, saya juga mulai berolahraga. Pilihan saya adalah bersepeda. Karena kata dokter, main karambol dan catur tidak bisa menghabiskan lemak di badan.
Sebenarnya, ada pilihan beberapa olahraga yang bisa membakar lemak lebih cepat. Seperti renang, dayung, atau lari. Tapi saya memilih sepeda karena saya merasa ini “panggilan sejak kecil.” Bersepeda dari kampung ke kampung telah saya lakukan sejak saya masih ingusan.
Awalnya, gowes yang saya lakukan adalah “gowes formalitas.” Bersepeda dengan sepeda lipat di dalam kompleks perumahan. Rasanya, 30 menit bersepeda terasa begitu lama.
Tapi, dampaknya langsung terasa.
Berat badan semakin turun di bawah angka satu kwintal. Pertama-tama turun dari 98 ke 95 kg. Memang hanya 3 kg, tapi waktu itu berat tidak bertambah saja merupakan sebuah prestasi besar.
Setelah ikut komunitas dan menjalin pertemanan, maka variasi bersepeda semakin banyak. Dari sepeda lipat lalu menjajal pakai MTB keluar-masuk kebun orang, lalu berlanjut sampai ke luar kota. Berat kembali turun, dari 95 ke 92 kg.
Kemudian ada ajakan untuk merasakan road bike alias sepeda balap. Ternyata, lewat tipe ini berat saya turun semakin drastis. Karena detak jantung terus dipaksa di atas 160 bpm selama 2-3 jam atau lebih. Sekali keluar minimal membakar 1.000 kalori.
Sekarang, beberapa tahun setelah sangat aktif bersepeda, saya merasa telah benar-benar menemukan jalan keluar, jalan yang seimbang.
Ketika malas berolahraga, lalu asupan “gizi” terus tinggi, maka berat badan pun naik berbanding lurus dengan tingkat kemalasannya. Untuk seimbang, aktivitas yang membakar kalori juga harus tinggi. Kita semua ingin sehat sampai usia lanjut. Karena organ manusia bukanlah spare part mobil yang bisa dibeli di toko lalu dipasang “plug and play.”
Panutan saya, Eddy Merckx yang pernah memenangi 525 lomba, pernah ditanya apa resep supaya kuat bersepeda. Jawaban orang Belgia itu singkat: “Ride lots” alias banyaklah gowes.
Saya ingin menambahi kata-kata itu. Menjadi “Ride lots, eat lots more.” Alias goweslah yang banyak, lalu makan lebih banyak. Kalau kita rajin bersepeda, kita bisa makan lebih banyak lagi.
Mari tetap bersepeda, agar kita tetap sehat dan dapat makan jeroan sekali-sekali. Maksudnya, sehari sekali…(johnny ray)
PS: Saya bukan dokter dan tiap orang kondisi badannya beda-beda. Jadi hati-hati dalam menanggapi tulisan ini. Jangan terlalu serius.