Tahun 2020 sepertinya bukan tahun yang bersahabat untuk kita semua. Pandemi Covid-19 menyerang semua. Tidak mengenal tua-muda atau kaya-miskin. Dampak sosial dan ekonomi yang timbul membuat yang kuat tiarap dan yang lemah tersungkur menyerah.
Tidak ada industri bisnis yang tidak terserang. Bahkan rumah ibadah, yang biasanya penuh ramai di kala krisis karena orang mulai mencari kekuatan Tuhan, harus tutup juga. Perjuangan pun rasanya masih panjang untuk kita semua menang perang melawan virus ini.
Di masa sulit seperti ini, saya tidak menyangka pengalaman beberapa tahun yang lalu saat saya bersepeda ke Bromo menjadi pelajaran yang sangat penting. Pengalaman ini membantu saya untuk bisa bertahan melawan Covid-19 hingga hari ini.
Rute bersepeda dari Surabaya menuju Bromo menempuh jarak kurang lebih 100 kilometer dengan mendaki hingga sekitar 2.000 meter di atas permukaan laut. Rute ini dibagi dalam dua bagian. Yang pertama menempuh jarak 60 kilometer dengan rute yang datar, dari Surabaya ke Pasuruan. Ini relatif mudah dilewati.
Bagian kedua sangat berat, terus menanjak hingga Wonokitri. Kemiringan rata-rata 15 km terakhirnya sekitar 7 persen, dengan bagian terberat ada di ujung, hingga lebih dari 16 persen!
Sebuah rute yang sangat menantang. Dan jika saya mau jujur, rute ini sangat mengerikan dan kelihatannya mustahil untuk bisa saya selesaikan. Apalagi, data yang mengerikan ini ditambah dengan panasnya terik matahari yang menyinari dan debu vulkanik yang (hari itu) beterbangan karena Bromo baru saja “batuk-batuk.” Semuanya membuat perjalanan saya ke Bromo seperti penyiksaan yang tidak berujung.
Perlu diketahui kalau saya ini bukan pesepeda yang kuat. Saya bersepeda untuk rekreasi, bukan prestasi. Kalau dibandingkan dengan pesepeda yang super cepat dengan stiker petir atau jet tempur di helmnya, maka helm saya berwarna pink berhias stiker Hello Kitty. Begitulah kira-kira bayangannya. Jadi saya ini pesepeda papan bawah seperti kebanyakan orang. Oleh sebab itu, untuk menyelesaikan rute Bromo ini harus penuh dengan perjuangan.
Inilah yang saya lakukan saat berjuang menuju garis akhir:
Pertama, Saya hapuskan pilihan untuk menyerah sejak dari start. Saya tahu rute ini menantang, rute ini berat, dan rute ini akan membuat saya berhenti menyerah. Dari awal saya sudah berkata kepada diri saya sendiri: “MiL, kamu boleh behenti, tapi hanya sebentar saja. Tidak boleh lama-lama. Apalagi selamanya! Menyerah bukan pilihan!”
Dan itu yang saya lakukan. Ketika kecapekan dan tidak kuat, saya ambil waktu untuk berteduh dan minum air dingin sejenak. Ketika kaki mau kram dan pinggang menjerit karena terus memancal di kemiringan yang tidak sepedawi, saya akan berhenti sebentar untuk menikmati pemandangan yang ada di sekitar.
Kemudian saya mengambil kembali sepeda saya dengan senyum yang lebar dan mengayuh pedal dengan hati yang gembira. Jangan pernah lupa kalau tujuan akhir kita semua bersepeda adalah untuk mencari kebahagiaan. Walaupun terkadang jalannya melewati bukit penderitaan, tapi garis akhirnya selalu adalah kebahagiaan. Jadi jangan menyerah di tengah jalan!
Hal kedua yang saya pahami adalah saya akan menjalani rute tanjakan ini sendirian. Walau awalnya bersepeda bersama-sama dengan teman-teman saya yang lain, saya tidak bisa memaksa diri saya untuk bersepeda lebih cepat, untuk mengejar yang jauh lebih cepat dan kuat. Di sisi lain, saya juga tidak bisa menemani teman lain yang lebih lambat.
Oleh sebab itu, banyak momen di tanjakan di mana saya sendirian, gowes dengan kecepatan yang nyaman untuk diri saya sendiri.
Tanjakan Bromo buat saya hari itu adalah momen untuk bisa merefleksikan diri melawan alam yang ada. Belajar untuk melahap semua tanjakan curam yang begitu berat, menikmati semua kesakitan yang dirasakan, dan bertahan hingga garis akhir. Sendirian tanpa ada yang menemani.
Jangan iri dengan orang lain yang lebih cepat dan jangan lupa untuk mengucap syukur kalau kita ada di depan teman yang lebih lambat. Semuanya ada perjuangannya masing-masing. Walaupun sendirian, saya tidak pernah kesepian. Karena tahu ada teman-teman lain yang ikut berjuang bersama, hanya saja mereka berjuang sesuai dengan kecepatan mereka masing-masing.
Ketika menjalani tanjakan Bromo, seolah-olah tanjakan itu tidak berujung dan tidak ada akhirnya. Tapi setiap tanjakan pasti ada akhirnya! Gunung setinggi apa pun selalu ada puncaknya! Saya finis Bromo dengan keadaan dehidrasi, kecapekan, dan ancuuuur. Tapi saya mencapai garis akhir itu.
Perjuangan kita melawan pandemi hari ini seolah-olah tidak berujung. Tetapi janganlah berhenti dan menyerah sahabat mainsepedaku! Istirahat sejenak saja, lalu ambil lagi “sepedamu” dan pancal sesuai dengan kecepatanmu. Kita tidak pernah sendirian, jadi jangan pernah merasa kesepian. Jadilah pribadi yang terlalu ngeyel untuk menyerah melawan tanjakan pandemi ini. Saya tunggu di garis akhir!
Daeri seorang pesepeda ngeyel. (@milbudiyanto)
Tentang Penulis: @milbudiyanto adalah seorang pesepeda papan bawah, pelari marathon, dan sedang belajar jadi triathlete. Pemilik hashtag #dilarangmalas ini bekerja di @gmssurabayabarat dan dikaruniai satu orang istri @juluanbahri dan 2 orang anak @chloeandreab @darrenbudiyanto
Podcast Main Sepeda Bareng AZA x Johnny Ray Episode 8: Jangan Sampai Celaka Konyol di Jalan
Audionya bisa didengarkan di sini