“We cannot develop and print a memory” – Henri Cartier Bresson
Quote salah satu fotografer favorit saya ini berlaku sepanjang masa, dari masa keemasan jurnalistik fotografi di era Robert Capa memotret stage Col du Tourmalet di Tour de France 1939, era Henri Cartier Bresson mengabadikan Paris Six-Day Race di Vél d’Hiv di Paris Prancis sampai era digital hari ini.
Baik itu di dunia professional sports photography atau para penghobi yang mengabadikan kegiatan mereka bersepeda tiap hari.
Di era digital ini, fotografi menjadi sangat penting. Saat ini semua orang bisa menyebut diri mereka fotografer hanya dengan bermodal sebuah kamera digital atau sebuah smartphone dengan hasil puluhan megapixel per foto. Setelah hampir 200 tahun akhirnya fotografi berhasil bertransformasi menjadi “kebutuhan primer” hampir seluruh manusia.
Saat ini kita dimanjakan dengan teknologi yang memudahkan saat memotret dan memproses foto-foto yang kita hasilkan. Semua kamera digital baik itu DSLR, Mirrorless atau Point and Shoot sudah dilengkapi fitur-fitur canggih yang bisa mentransfer foto ke smartphone dan bisa langsung diproses menggunakan aplikasi foto yang tersedia. Tapi semua kecanggihan teknologi tetap tidak bisa menggantikan mata fotografer yang memiliki konsep yang kuat.
Dalam tulisan ini saya akan membahas cycling photography secara spesifik. Karena belum ada istilah untuk cyclist yang juga melakukan aktifitas fotografi saat bersepeda, maka saya menyebutnya sebagai cyclistgrapher. Beberapa tips cycling fotografi yang bisa saya share adalah sebagai berikut :
1. GEAR
Pemilihan gear adalah yang paling penting karena sebagai cyclistgrapher yang memotret dan bersepeda di saat bersamaan harus bisa mengatur berat kamera dan lensa yang dibawa. Beberapa opsi kamera yang tersedia yang menurut saya cukup pas untuk cyclistgrapher adalah Fuji XF10 lensa 18.5mm, Canon EOS M100 lensa 15-45mm & Olympus OM-D EM10 Mark II lensa 14-42mm.
Kumataro, salah satu teman saya di Tokyo, Jepang dan kamera kesayangannya adalah Sony Point dan Shoot RX100.
2. LANDSCAPE
Ambillah foto yang bervariasi dan bukan selalu foto cyclist yang sedang berpose. Usahakan agar foto yang diambil bisa menceritakan apa, siapa dan dimana. Kalau momen ini terjadi di pegunungan, pedesaan atau kota kita bisa memilih lokasi yang lebih tinggi untuk bisa menceritakan sebuah moment yang terjadi di depan kita. Semua soal perspektif dan timing.
Satu grup cyclist yang melintas ke arah Bundaran HI Jakarta. Saya mengambil foto ini dari atas jembatan penyeberangan Jalan Sudirman.
Seorang cyclist berusaha mencapai puncak Wuling di Taiwan. Saya menunggu momen ketika dia sendiri supaya saya bisa mendapatkan kontras cyclist dengan deretan pegunungan dan awan sebagai background.
3.SILUET
Hal yang satu ini selalu saya perhitungkan ketika memotret. Kejelian mata kita menangkap kontras cahaya dan momen akan membawa kita menghasilkan sesuatu yang menjadi dasar dalam fotografi : “melukis dengan cahaya”
Seorang teman mellintas di depan saya ketika kami climbing ke Maokong Hills di Taipei. Matahari pagi sangat membantu saya mendapatkan momen ini karena ada sisi kota Taipei yang sudah terkena matahari dan sisi dimana saya berdiri yang masih gelap terhalang perbukitan.
4. ACTION
Di dunia profesional untuk memotret sebuah action di garis finish tentu kita membutuhkan lensa tele supaya tidak mengganggu race.Tapi foto action bisa didapatkan di luar aksi pro. Di dunia hobi-pun kita bisa menangkap foto action dalam bentuk lain, misalnya ekspresi teman kita ketika sedang climbing di tanjakan grade 10 persen atau lebih. Hindari cyclist yang selalu berpose ke arah kamera, karena akan membuat momen tersebut menjadi tidak natural.
Dua cyclist yang berusaha mengatur ritme nafas, heart rate, dan putaran kaki. Cyclist ketiga di belakang adalah RC yang mengawal.
5. PORTRAIT
Waktu yang tepat untuk membuat foto profil adalah ketika cyclist baru saja tiba di garis finish. Ekspresi lelah, berkeringat, senang atau sedih semuanya bisa terlihat karena di momen singkat inilah kita bisa menangkap wajah-wajah dengan ekspresi natural.
Potrait Mike Woods di Tour Down Under 2019.
6. EXPLORE
Jangan selalu berpatokan pada 5 hal di atas, masih banyak hal lain yang lewat di depan mata kita tapi kita sering tidak memperhatikan dengan baik, misalnya detail jersey, kaos kaki, cap, ornamen sepeda atau hal lain post ride yang tidak kalah bagusnya.
Bendera Slovakia dengan nama Sagan di Tour Down Under 2019.
Secangkir kopi di antara deretan kaki cyclist.
Post pro foto adalah bagian yang punya ke-seruan tersendiri. Pemilihan aplikasi yang tepat akan membantu kita mengolah foto foto yang kita hasilkan. Saya adalah salah satu penikmat era digital ini, beberapa aplikasi yang menjadi favorit saya adalah VSCO dan SNAPSEED. Dengan VSCO hasil foto saya dengan menggunakan Fuji Film XT1 atau smartphone bisa dengan mudah dan cepat di touch up karena sudah tersedia berbagai preset warna yang bisa kita pilih sesuai keinginan.
Foto satu grup cyclist ini sudah saya touch up menggunakan aplikasi VSCO di preset AGA3 yang men-desaturate warna hampir semua warna terutama warna hijau. Sehingga foto yang ditampilkan karakternya lebih ke arah hasil kamera dengan menggunakan film.
Momen ini saya abadikan ketika saya dan beberapa teman akan climb ke Adelaide Hills. Matahari jam 7 pagi yang menembus pepohonan memberi kesan dramatis. Hasil foto ini saya olah di Snapseed untuk lebih mengangkat kesan dramatisnya. Warna yang saya tampilkan lebih ke arah kuning sehingga warna kuning dari matahari pagi bisa lebih kuat tanpa meninggalkan warna hijau pepohonan.
Terlepas dari semua fasilitas dan kemudahan yang kita punya di era digital ini, menurut saya salah satu alat yang tidak pernah berubah dari pertama fotografi hadir sampai detik anda membaca tulisan saya ini adalah mata. Semahal apapun alat yang anda punya kalau mata tidak pernah dilatih untuk melahirkan konsep maka foto yang dihasilkan akan seperti tubuh tanpa jiwa.
Josua Alessandro (Cyclist dan Fotografer)
IG: kazevelo
website : www.josuaalessandro.com